Kamis, 12 April 2012

Fungsionalisme dan fungsionalisme struktural, Perspektif Interaksionalisme Simbolik dari Mayun Mudita dari

Perspektif Interaksionalisme Simbolik
Kampus stikom-bali.co.id

http://manyul83.blogspot.com/

Titik tolak pemikiran interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas sosial sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada didalamnya. Pada hakikatnya tiap manusia bukanlah “barang jadi” melainkan barang yang “akan jadi” karena itu teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai “diri” (self) yang tumbuh berdasarkan suatu “negosiasi” makna dengan orang lain. Menurut George Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Mead menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba memahami apa yang diharapkan orang itu (Mulyana, 2007).
Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Keunikan konsep diri pada setiap individu pun relatif berbeda-beda karena antara individu satu dengan individu lainnnya mempunyai pola pikir yang berbeda.Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri yang dimiliki individu dapat diketahui melalui informasi, pendapat dan penilaian atau evaluasi dari orang lain. Diri juga terdiri menjadi dua bagian yaitu diri obyek yang mengalami kepuasan atau kurang mengalami kepuasan dan diri yang bertindak dalam melayani diri obyek yang berupaya memberinya kepuasan.
Menurut Mead, tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah berkembang. Sementara disisi lain bersama refleksivitasnya, diri adalah sesuatu yang mendasar bagi perkembangan pikiran. Tentu saja mustahil memisahkan pikiran dari diri, karena diri adalah proses mental. Namun, meskipun kita bisa saja menganggapnya sebagai proses mental, diri adalah proses sosial. Mekanisme umum perkembangan diri adalah refleksivitas atau kemampuan untuk meletakkan diri kita secara bawah sadar ditempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana orang lain menelaah dia (Ritzer, 2004).
Dengan menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain, maka dimungkinkan terjadi interaksi, semakin mampu seseorang mengambil alih atau menerjemahkan perasaan-perasaan sosial semakin terbentuk identitas atau kediriannya. Ada tiga premis yang dibangun dalam interaksi simbolik yaitu;
1. manusia bertindak berdasarkan makna-makna,
2. makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain, dan
3. makna tersebut berkembang dan disempurnakan ketika interaksi tersebut berlangsung (Mulyana, 2001).
Teori interaksi simbolik melihat individu sebagai pelaku aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Teori interaksi simbolik fokus pada soal diri sendiri dengan segala atribut luarnya. Deddy Mulyana mengutip istilah yang digunakan Cooley yaitu looking glass self (Mulyana, 2001). Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga komponen.
1. individu mengembangkan bagaimana dia tampil bagi orang lain;
2. individu membayangkan bagaimana peniliaian mereka atas penampilan individu tersebut;
3. individu mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut.
Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya. Littlejohn menyatakan bahwa interaksi simbolik mengandung inti dasar premis tentang komunikasi dan masyarakat (Littlejohn, 1996).
Setiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri. Diri tidak terkungkung melainkan bersifat sosial. Orang lain adalah refleksi untuk melihat diri sendiri. Dari penjelasan ini berarti bahwa teori interaksi simbolik merupakan perspektif yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri sekaligus diri sosial.
Bagi Mead, “diri” lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. “Diri” juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) dimana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. “Diri” disini bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variabel-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan “diri.”
Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.”
Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school). Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh Blumer.
Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu:
1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.
2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.
3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.
4. Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.
5. Pikiran terdiri dari percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.
6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.
7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti.

Perspektif Konflik

Tidak ada seorang sosiolog pun yang menyangkal bahwa perspektif konflik dalam kajian sosiologi bersumber pada ide-ide yang dilontarkan oleh Karl Mark seputar masalah perjuangan kelas. Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus diantara kelompok dan kelas, atau dengan kata lain konflik dan pertentangan dipandang sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial sehingga struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.
Salah satu pertanyaan menarik yang terlontar sebagai konsekuensi dari penempatan konflik sebagai determinan utama dalam kehidupan sosial adalah masalah kohesi sosial. Kalangan teoritisi konflik setidaknya memandang dua hal yang menjadi faktor penentu munculnya kohesi sosial ditengah-tengah konflik yang terjadi, yaitu melalui kekuasaan dan pergantian aliansi. Hanya melalui kekuasaanlah kelompok yang dominan dapat memaksakan kepentingannya pada kelompok lain sekaligus memaksa kelompok lain untuk mematuhi kehendak kelompok dominan. Kepatuhan inilah yang pada akhirnya memunculkan kohesi sosial. Adapun pergantian aliansi disini berarti berafiliasi pada beberapa kelompok untuk maksud-maksud yang berbeda. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat suatu isu spesifik seringkali mampu menyatukan kelompok yang sebenarnya memiliki berbagai macam perbedaan.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, kalangan teoritisi konflik memandang agama sebagai ekspresi penderitaan, penindasan, dan rasionalisasi serta pembenaran terhadap tatanan sosial yang ada. Oleh karena itu, dalam perspektif konflik agama dilihat sebagai “kesadaran yang palsu”, karena hanya berkenaan dengan hal-hal yang sepele dan semu atau hal-hal yang tidak ada seperti sungguh-sungguh mencerminkan kepentingan ekonomi kelas sosial yang berkuasa. Dalam pandangan Marx, agama tidak hanya membenarkan ketidakadilan tetapi juga mengilustrasikan kenyataan bahwa manusia dapat menciptakan institusi-institusi sosial, dapat didominasi oleh ciptaan mereka dan pada akhirnya percaya bahwa dominasi adalah sesuatu yang sah. Jadi, dalam perspektif konflik agama lebih dilihat dalam hubungannya dengan upaya untuk melanggengkan status quo, meskipun pada tahap selanjutnya tidak sedikit kalangan yang menganut perspektif ini justru menjadikan agama sebagai basis perjuangan untuk melawan status quo sebagaimana perjuangan bangsa Amerika Latin melalui teologi liberal mereka yang populer.

fungsionalisme dan fungsionalisme struktural

http://manyul83.blogspot.com/

Perspektif fungsionalisme mengandaikan bahwa kehidupan sosio-budaya itu seperti tubuh makhluk hidup. Penganut aliran fungsionalisme ini percaya, bahwa analogi biologi (organisme) dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan sosio-budaya masyarakat (Kaplan, 1999: 77). Individu-individu maupun kebudayaan sebagai bagian dari masyarakat kemudian disejajarkan dengan sel-sel yang ada dalam tubuh makhluk hidup, yang selalu tergantung dan tidak terpisahkan dari fungsi-fungsi sel-sel lainnya. Layaknya tubuh makhluk hidup, kelangsungan kehidupan sosio-budaya dapat dipertahankan apabila individu-individu yang ada didalamnya saling bergantung dan berfungsi dengan individu-individu lainnya. Itulah sebabnya, perspektif ini memandang kehidupan sosio-budaya sebagai sesuatu yang harus selalu ada dalam keteraturan agar dapat bertahan hidup. Implikasinya, segala bentuk tindakan dan gejala yang dinilai mengancam keteraturan akan dianggap sebagai gangguan atau penyakit yang harus disembuhkan. Tugas individu-individu adalah menjaga agar fungsi-fungsi mereka di dalam masyarakat dapat berjalan secara teratur sebagaimana harusnya. Dengan mengandaikan kehidupan sosial layaknya tubuh makhluk hidup, maka perspektif ini melihat gerakan sosio-budaya sebagai gejala terjadinya krisis di dalam masyarakat.
Sementara itu, B. Malinowski dalam teori fungsionalismenya mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supernatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, “Powerful Other.” Partisipan yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanjuran agama sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan karena pada dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.
Dengan demikian, teori fungsional melihat setiap ritual dalam agama memiliki signifikansi teologis, baik dari dimensi psikologis maupun sosial. Aspek-aspek teologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa ditarik benang merahnya dari simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah. Pemaknaan terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan hingga sebuah ritual bisa ditujukan untuk “memuaskan” Tuhan atau kebutuhan spiritualnya sendiri.
Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual juga merupakan manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai “alat memperkuat solidaritas sosial” melalui performa dan pengabdian. Tradisi slametan merupakan contoh paling konkret dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrium), yakni menciptakan situasi rukun -setidaknya- di kalangan para partisipan. Kalangan fungsionalis yang mengakui asumsi ini adalah Clifford Geertz, James Peacock, Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, dan masih banyak lagi. Pendek kata, teori fungsional melihat fungsi ritual (agama) dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks spiritual maupun esksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban terhadap pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan. Jawaban tersebut tentu saja muncul karena manusia membutuhkannya sebagai perangkat untuk mendapatkan berkah suci dari Tuhan.
Mengenai paradigma fungsionalisme struktural, para ahli telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini dengan menuangkan berbagai ide dan gagasannya mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer (1980), Margaret M.Poloma (1987), dan Turner (1986). Drs. Soetomo (1995) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut teori fungsional struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini (fungsional- structural) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.
Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “patologis“. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan sosial. Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, (ia) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini (fungsional-struktural) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis (www.google.com).
Dari penjelasan masing-masing paradigma tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya sama-sama perspektif yang mengkaji tentang fungsi fenomena budaya tertentu. Adapun perbedaan kedua paradigma itu terletak pada analisisnya. Analisis dalam paradigma fungsional lebih sederhana daripada paradigma fungsionali-struktural. Jika fenomena budaya dikaji dengan paradigma fungsional dan telah ditemukan fungsinya dalam masyarakat, itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Berbeda dengan analisis dalam paradigma fungsional-struktural, paradigma ini lebih menekankan pada relasi fungsi. Artinya, dalam analisis ini peneliti harus bisa menunjukkan relasi fungsional antara suatu unsur budaya atau gejala sosial-budaya tertentu dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, peneliti dituntut untuk dapat memberikan penekanan pada struktur sosial. Dengan demikian, deskripsi mengenai struktur sosial ini tidak kalah pentingnya dengan deskripsi atau pernyataan mengenai relasi fungsional itu sendiri. Data kualitatif berupa contoh-contoh kasus yang konkrit memainkan peran yang penting untuk meyakinkan pembaca akan adanya relasi fungsional antara unsur budaya atau gejala sosial-budaya yang dimaksud dengan struktur sosial yang ada (Diktat kuliah Teori Kebudayaan S2 oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra).

Babad olih I Made Supadi

BABAD

http://supadiimade.blogspot.com/

Apa itu Babad
Istilah babad terdapat di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di daerah – daerah lain, seperti Sulawesi Utara, babad disebut lontara, di Sumatra Barat dikenal dengan istilah tambo, di Kalimantan, Sumatra, dan Malaysia dikenal dengan sebutan hikayat, sisilah, sejarah; di Burma dan Thailand dikenal dengan sebutan kronikel (Soedarsono, 1985).
Ada bermacam – macam pengertian babad. Menurut Darusuprapta (1976), babad adalah salah satu jenis karya sastra – sejarah berbahasa Jawa Baru yang penamaannya beraneka ragam, anatar lain berdasarkan nama sendiri, nama geografi, nama peristiwa atau yang lainnya. Sartono Kartodirdjo (1968) menjelaskan babad merupakan penulisan sejarah tradisional atau historiografi tradisional sebagai suatu bentuk dan suatu kultur yang membentangkan riwayat, dimana sifat – sifat dan tingkat kultur mempengaruhi dan bahkan menentukan bentuk itu sehingga historiografi selalu mencerminkan kultur yang menciptakannya. Menurut Soekmono (1973), babad merupakan cerita-sejarah yang biasanya lebih berupa cerita daripada uraian sejarah meskipun yang menjadi pola adalah memang peristiwa sejarah. Teeuw (1984) menjelaskan babad sebagai teks – teks historik atau genealogik yang mengandung unsur – unsur kesastraan. Demikanlah ada bermacam – macam pengertian babad. Akan tetapi, pada prinsipnya babad merupakan teks – teks historis yang dikemas dengan unsur – unsur kesastraan

Hakikat Babad
Babad merupakan titk temu antara sastra dan sejarah. Realistas dalam babad telah berpadu dengan kreativitas. Maka realitas itu telah menunjukkan wajah baru. Dengan demikian, babad bukanlah mutlak dipandang sebagai dokumen sejarah, tetapi juga dipandang sebagai teks yang secara kreatif, dan menurut konvensi kebudayaan Bali, menafsirkan dan membayangkan hal – hal sejarah dan bukan sejarah dalam rangka pandangan dunia masyarakat Bali. Teks babad merupakan kenyataan yang diberi nilai dan makna lewat cerita. Oleh karena itu, babad menjadi semacam model gaya bercerita yang laku dalam kebudayaan Bali pada zaman itu. Dengan demikian, seorang penulis babad lebih menekankan pemberian makna dan eksistensi manusia lewat cerita, peristiwa yang barangkali tidak benar secara faktual tetapi masuk akal secara maknawi. Jadi, dalam membaca babad kita selalu sadar bahwa kita berada dalam tegangan history dan story. Dengan kata lain, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian yang kedua – duanya hakiki untuk kita sebagai manusia. Oleh karena itu, keobjektifan mutlak tidak pernah tercapai karena beberapa hal, yaitu: (1) Fakta – fakta tidak pernah lengkap, selalu fragmentaris; (2) Penulis babad mau tak mau harus berlaku selektif, tidak semua fakta dan data sama penting dan relevennya. Ia harus memilih dan kriteria objektif untuk penyelesaian tidak ada sehingga cendrung menulis apa yang sebaiknya ditulis bukan apa yang seharusnya ditulis; (3) Penulis babad adalah manusia yang latar belakang, kecendrungan, pendiriannya bersifat subjektif, ditentukan oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya sebagai manusia sosio – budaya pada masa dan masyarakat tertentu (Teeuw, 1988).

Sifat Babad
Sejalan dengan pengertian dan hakikat babad seperti di atas, maka babad memiliki sifat – sifat sakral-magis (dikramatkan), religio-magis (mengandung kapercayaan), legendaris (berhubungan dengan alam semesta), mitologis (berhubungan dengan dewa – dewa), hagiografis (mengandung kemukjizatan menyimpang dari hukum alam), simbolis (mengandung lambang – lambang, kata – kata keramat atau bhisama, benda – benda kramat), sugestif (mengandung ramalan, suara gaib, tabir mimpi), istana sentris (berpusat pada kerajaan), pragmentaris (tidak lengkap), raja-kultus (pengagungan leluhur), lokal (bersifat kedaerahan), dan anonim (tanpa nama pengarang).


Peranan dan fungsi Babad pada Masyarakat Bali Masa Kini
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa babad pada hakikatnya merupakan penafsiran terhadap kenyataan, alternatif kenyataan, atau kenyataan diberi makna lewat cerita. Sejalan dengan itu, makna babad bukan terletak pada peristiwa itu tetapi berada di balik peristiwa. Sebagai produk budaya kiranya babad dapat dilihat sebagai sistem simbol. Babad dapat dipandang menggambarkan suatu cara masyarakat Bali memperkuat dan melestarikan dirinya melalui simbolisasi dari nilai – nilai atau konsep – konsepsi sosio-religius yang mendasari struktur sosialnya. Hal ini penting terutama ditinjau dari segi proses interaksi masyarakat Bali sebagai makhluk sosial. Dalam konteks ini interaksi itu dipahami sebagai interaksi simbolik. Babad sebagai simbol digunakan oleh orang Bali dalam berinteraksi satu sama lain atau untuk menyatakan gagasannya sebagai manusia berkebudayaan. Selanjutnya, sebagai warisan budaya, kiranya babad dapat dipandang sebagai konsepsi – konsepsi orang Bali dalam menanggapi kehidupan dan lingkungan-nya demi eksistensinya secara historis. Kecuali itu, babad juga dipandang sebagai suatu abstraksi tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan orang Bali. Dalam konteks inilah hal - hal penting dalam babad, seperti bhisama dan persoalan sesanan bagi klien bersangkutan dapat dipahami dalam konteks yang lebih utuh. Sekalipun babad ditulis untuk mengenal dan mengingat peristiwa – peristiwa historis dengan segala konsekuensinya, maka kita lebih jauh dituntut untuk dapat memahami dan memberikan penafsiran secara jernih dan komprehensif bahwa fungsi dokumentasi babad hendaknya dipahami sesuai dengan kodratinya sebagai ciptaan sastra. Bahwa realita dalam babad memiliki hukumnya sendiri yang tidak harus sama dengan realita dalam fakta. Hal ini karena dalam ciptaan yang dinamakan sastra itu terdapat kepaduan antara mimesis dan creatio. Tidak hanya itu, fakta dan data yang tersedia di dalam babad tidak dapat dipertanggungjawabkan secara penuh. Informasi pada babad hanya dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan. Jika mengangkat informasi dalam babad sebagai bahan penyusunan sejarah, semestinya harus melalui kritik sumber, babad dibaca berdampingan dengan sumber – sumber lainnya.
Namun demikian, masih dapat diakui bahwa babad diciptakan dalam rangka struktur dan pemenuhan fungsi. Sejalan dengan itu, fungsi babad, antara lain: berfungsi melegitimasi (mengesahkan) asal – usul / silsilah leluhur, kejadian / peristiwa, desa, pura atau hal – hal lainnya. Sehubungan dengan fungsi legitimasi inilah faktor – faktor kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling menentukan satu sama lain. Unsur – unsur mitos, legenda, hagiografi, simbolisme, dan sugesti sangat dibutuhkan dalam upaya menambah kakramatan dan kewibawaan tokoh atau peritiwa yang dilegitimasi.
Di samping itu, babad berfungsi sebagai, penghormatan kepada leluhur. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kepercayaan (sradha) orang Bali adalah kepercayaan terhadap leluhur. Banyak kasus ditemukan dala kehidupan masyarakat Bali bahwa karena faktor “tidak mengenal leluhur” (tak kenal maka tak sayang) orang tersebut hidup sengsara, tetapi setelah menemukan dan mengenal leluhurnya kehidupannya berubah menjadi lebih bahagia. Hal ini pula diamanatkan dalam petikan Kekawin Ramayana di atas, bahwa untuk dapat menjadi seorang gunamanta (memiliki kewajiban), seperti Sang Dasaratha, maka kita diwajibkan berbakti kepada leluhur (tar malupeng pitrepuja) di samping bertaqwa kepada Tuhan (bhakti ring dewa).
Lebih jauh, babad berfungsi sebagai penuntun para keturunan (pratisantana) dalam menjalankan kewajiban masing – masing. Dalam tataran ini, babad dapat dipandang sebagai suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku orang Bali. Babad merupakan kristalisasi pandangan hidup dan ajaran – ajaran luhur para leluhur pada masa lampau. Dikatakan demikian karena hampir dalam setiap babad memuat bhisama leluhur tentang sesanan (tetegenan, kewajiban) yang wajib dilaksanakan oleh keturunannya. Babad mengajarkan kepada keturunannya untuk lebih mengenal diri, untuk memahami hakikat dan eksistensi diri sebagai individu dan makhluk sosial. Artinya, babad tidak mengajarkan keturunannya untuk hidup terkotak – kotak, membatasi diri terhadap linkungan, namun sebaliknya, babad mengajarkan interaksi orang Bali sebagai makhluk sosial. Dalam tataran ini babad merupakan kepaduan antara ontologis dan kosmologis. Oleh karena itu, diperlukan usaha pemahaman komprehensif, baik terhadap manusia dan dunia maupun Tuhan dalam satu keseluruhan konseptual yang koheren. Hal ini tentu memaksa pikiran untuk meraih sampai ke inti paling murni yang tersembunyi dalam struktur – struktur pengalaman manusia (leluhur pada masa lalu). Akan menjadi sangat baik apabila keturunan suatu klien mampu melakukan pemahaman seperti itu tentang babad sehingga tumbuh kesadaran yang tereflaksikan dalam bentuk pelaksanaan dharma masing – masing (dharma agam dan dharma nagara) meniru jejak para leluhur. Dalam rangka meniru jejak leluhur itu, kita mesti tetap dalam kesadaran bahwa babad adalah produk masa lampau yang diberi makna pada masa kini. Artinya, sangat diperlukan kepekaan terhadap situasi dan kondisi zaman pada saat pembacaan. Apabila keturunan suatu klien telah mampu menjalankan kewajibannya dengan baik, maka mereka akan menikmati haknya dengan baik. Dalam rangka inilah kerapkali terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan babad. Yang menjadi horison harapan adalah hak dan melupakan kewajiban apa yang diamanatkan oleh leluhur. Oleh karena itu, sering menimbulkan konflik, baik internal maupun eksaternal.
Babad juga berfungsi sebagai sumber inspirasi seni. Cabang seni yang lain, seperti seni pertunjukan, seni rupa, seni patung, bahkan genre sastra lainnya (kidung, geguritan) kerapkali mengambil sumber pada teks – teks babad. Namun hal penting yang perlu diperhatikan dalam memilih dan mengangkat babad sebagai sumber inspirasi atau sumber lakon seni pertunjukan adalah adanya kesinambungan yang mampu menunjukan ciri khas babad lain berupa legitimasi, genealogi, simbolisme, hagiografi, mitologi, dan sugesti.