Senin, 05 Maret 2012

IGM Darmaweda

ORANG BALI LEBIH SERIUS MENGURUS KEMATIAN DARIPADA KEHIDUPAN

MEMANG IRONIS



SANGAT IRONIS Lahir, hidup, mati adalah sebuah siklus yang tidak mungkin dihindari oleh siapa saja, apa saja yang ada di bumi ini, apakah sebuah benda, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan mahluk yang bernama manusia, apakah dia kaya, miskin, pintar, bodoh, culas, jujur, berkuasa, sakti mandraguna, berjasa, pengkhianat, tidak dapat menghindari siklus tersebut, yang dalam agama Hindhu disebut Tri Kona.

Pepatah mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang. Sama-sama meninggalkan sesuatu untuk dikenang. Tidak perduli, apakah itu baik atau buruk. Ketika orang yang mati mempunyai jasa bagi lingkungan, masyarakat, bangsa dan atau negara, maka akan dikenang jasa-jasanya, walaupun telah mati puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu.

Ir. Soekarno, Moh.Hatta sampai saat ini dan seterusnya, selama masih ada bangsa Indonesia, akan selalu dikenang jasanya sebagai seorang Proklamator, Bapak Proklamator untuk sebuah negara yang bernama Negera Republik Indonesia. R.A Kartini dikenang sebagai pahlawan, karena jasanya memperjuangkan hak-hak wanita untuk kesetaraan dengan kaum laki-laki. Panglima Jenderal Soedirman, dikenang sebagai pahlawan dalam mengusir penjajah dari Negera Republik Indonesia. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Lalu bagaimana dengan para pengkhianat bangsa, para koruptor yang tumbuh subur di negara ini? Pastilah mereka juga akan dikenang, dengan sebutan pengkhianat, teroris atau koruptor.

Adalah seorang wanita paruh baya, bernama Anak Agung Made Astini, telah menjadi guru di sebuah SMP yang ada di Desa Pemecutan, semenjak tahun 1981 dengan status guru honorer. SMP tersebut adalah SMP I Pemecutan, yang dimiliki oleh sebuah yayasan yang bernama Sisya Dhika Suraksa, diprakarsai oleh tokoh-tokoh pendidikan yang ada di lingkungan Desa Pemecutan, atas keprihatinan beliau terhadap banyaknya anak-anak SD di desanya, tidak tertampung di SMP Negeri, yang ketika itu tidak banyak SMP swasta seperti sekarang ini.

Atas kebijakan pemerintah, pada tahun 1988, melalui seleksi penerimaan guru-guru SMP, beliau diangkat menjadi guru negeri yang diperbantukan di SMP I Pemecutan, tempat semula menjadi guru honorer. Tiga puluh satu tahun sudah menjadi guru di sana. Banyak suka dan duka telah dirasakannya. Apalagi beberapa tahun belakangan ini, semenjak diberlakukannya NEM dan makin banyaknya tumbuh sekolah swasta sebagai pesaingnya. Anak-anak pintar dan mempunyai biaya, akan memilih sekolah negeri, yang kurang pintar akan memilih sekolah swasta yang lebih bonafide. Jadilah sekolah ini menjadi sekolah penampung siswa yang memiliki IQ rata-rata ke bawah dan atau dari keluarga tidak mampu. 50% dari siswanya adalah anak dari keluarga tidak mampu.

Bisa dibayangkan, betapa sulit kondisi yang harus dihadapi oleh guru-guru yang mengajar di sekolah itu. Lebih banyak duka daripada sukanya. Sudah sangat sering guru-guru di sana disibukan oleh urusan mengenai siswa yang tidak masuk, tidak berani datang ke sekolah karena orang tuanya tidak bisa membayar biaya sekolah, Rp. 125.000 per bulan, karena kondisi keuangan. Sebagai seorang guru di sekolah itu, Anak Agung Made Astini pun merasa iba dan mencoba untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh siswa-siswa itu. Masalah ini selalu disampaikannya ketika dilangsungkan rapat Pengurus Yayasan. Beliau selalu menanyakan, siapa diantara bapak-bapak yang bersedia menjadi Bapak Asuh bagi siswa-siswa itu? Sudah beberapa kali pertanyaan yang sama diajukan, pada kesempatan yang sama. Namun sampai saat ini, tak satupun dari mereka mengacungkan tangan, tanda kesediaan menjadi Bapak Asuh bagi siswa miskin.

Atas dasar kesadaran bahwa memberi pertolongan kepada orang yang tidak mampu juga merupakan yadnya, maka beliau pun (Anak Agung Made Astini) menjadi Ibu Asuh salah seorang siswa miskin di sekolahnya. Beliau lalu berusaha, mengajak teman-teman sesama guru negeri di sekolah itu, untuk menjadi Ibu/Bapak Asuh bagi siswa-siswa miskin lainnya. Ternyata, usahanya ini tidak sia-sia. Lima orang temannya yang berstatus guru negeri, bersedia menjadi Ibu/Bapak Asuh bagi satu orang siswa miskin per angkatan. Jadi setiap tahunnya mereka memiliki tiga orang siswa miskin, sebagai anak asuhnya. Sungguh mengagumkan. Bukankah tindakan seperti ini merupakan implementasi dari Manusa Yadnya, yang diperintahkan oleh agama Hindu?.

Namun sayang, akibat dari keterbatasan mereka secara finansial sebagai Bapak/Ibu Asuh, masih banyak tersisa siswa-siswa miskin di sekolah tersebut. Menunggu Bapak/Ibu Asuh lainnya.

Sebagai seorang guru senior di sekolah itu, beliau pun merasa bertanggung jawab atas kondisi lingkungan sekolah. Setiap hari, setelah menyelesaikan tugas mengajar di kelas, selalu meluangkan waktu untuk melihat-lihat lingkungan sekolah. Dan, beliau sangat terkejut dan heran, suatu ketika melihat tempat parkir sepeda, yang diperuntukan para siswa. Berjerjer enam buah sepeda, yang persis sama, dari segi tipe, warna dan aksesorinya. Kok bisa, pikirnya. Menimbulkan rasa penasaran, ada apa gerangan, apakah siswa ini memiliki group, perkumpulan, bersaudara, atau……?. Rasa penasaran ini mendorong rasa ingin tahu, tentang keberadaan sepeda-sepeda tersebut.

Beberapa orang koleganya ditanyakan, perihal adanya sepeda yang membuat penasaran tersebut. Salah satu dari koleganya menginformasikan bahwa sepeda-sepeda tersebut adalah bantuan dari sebuah yayasan kristen, yang bernama Balawista, yang diberikan kepada beberapa siswa miskin. Ternyata, tidak hanya bantuan sepeda saja, bahkan setiap bulan, datang seseorang dari yayasan tersebut, untuk membayar biaya sekolah siswa-siswa miskin itu, karena telah menjadi Bapak Asuh bagi siswa tersebut. Setiap hari Minggu, mereka juga diajak ke Gereja.

Belum puas hanya menerima informasi seperti itu, Anak Agung Made Astini, mengunjungi rumah orang tua siswa ini, untuk mengetahui lebih jelas duduk permasalahannya. Ketika ditanya, kenapa bisa anak-anak mereka, menggunakan sepeda yang persis sama dengan beberapa orang siswa lainnya? Dan setiap bulan, ada orang yang membayarkan biaya sekolah anaknya?. Jawaban yang didapatkan diluar prediksi dan diluar perkiraannya. “Ibu sampun uning, kawentenang titiange sekadi puniki. Yen ten icen titiang, pianak titiange nenten jagi masekolah, titiang nenten maduwe prabiya sekolah”, begitulah jawaban yang disampaikannya, dengan wajah lusuh, kelihatan jelas keputusan yang diambilnya dengan terpaksa.

Anak Agung Made Astini akhirnya tidak mempunyai tanggapan apa-apa, dan tidak ingin menanggapi jawaban yang diterimanya. Rasa “jengah”, marah, kesal, keki tak karuan di benaknya. Inilah akibat dari “tuna rungunya” umat Hindu Bali, yang sudah mapan secara ekonomi, tidak pernah mau peduli terhadap orang miskin, khususnya umat Hindu Bali. Akibat dari ketidakpeduliannya, tak muncul pikiran, niat, keinginan untuk membantunya. Tetapi kebanyakan dari mereka, lebih bersemangat, ketika membicarakan atau membahas persoalan-persoalan tentang berbagai kegiatan upakara atau sesaji yang patut diberikan kepada seseorang yang sudah mati.

Pada kesempatan lain, bagaimana seseorang dengan penuh kebanggaan, dan agak pamer, menceritakan bahwa dia baru saja selesai melakukan upakara ngaben untuk ayahnya. Ngaben dengan tingkatan upakara “Mawangun” yang paling utama. Megah, meriah. Banyak rentetan upakara dan ritual yang menyertainya, sehingga menghabiskan waktu berhari-hari, empat belas hari. Melibatkan beberapa banjar, berarti ratusan orang. Menghabiskan biaya antara Rp. 150.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,-. Sudah pasti dijaman seperti sekarang ini. Nilai yang sangat fantastis, hanya untuk mengurus sebuah kematian. Tanpa dia sadari, orang tersebut telah merepotkan banyak orang, anggota banjar, sanak familinya. Mereka beberapa kali diajak terlibat dalam upakara-upakara dan ritual yang dilangsungkan. Harus berapa kali mohon ijin tidak masuk kerja/kantor, berapa kali harus bolos akibat tidak dapat ijin lagi dari atasannya, akibat terlalu sering tidak kerja. Bukankah kondisi ini, pada akhirnya, akan mengurangi daya saing orang Bali di dunia kerja?. Dan ini sudah terjadi di beberapa perusahaan, yang dimpimpin oleh orang luar Bali.

Salah seorang yang mendengar cerita itu bertanya, “Haruskah dibuatkan upakara besar seperti itu?”. “Dari leluhur, sampai generasi saya, jika melaksanakan ngaben, selalu mengambil tingkatan upakara besar (utama). Saya termasuk golongan Tri Wangsa. Apalagi ayah saya seorang penglingsir di keluarga besar (orang yang dituakan, karena usia). Sudah sepantasnya dibuatkan upakara seperti itu, walaupun harus menjual aset, tanah warisan.”, dengan penuh semangat, percayara diri, pamer, seolah-olah sangat mengerti makna (tetuwek) upakara yang telah dilangsungkannya.

Anggapannya, jika kematian dibuatkan upakara besar, dirawat dengan apik, teliti, penuh perhitungan, kelak roh akan menitis kembali lebih sempurna, dan keluarga yang ditinggalkan akan dibantu dari dunia sana.

Jika anggapan, atau pendapat seperti itu menjadi opini masyarakat, maka bisa mengarah terjadi proses pemiskinan, dan penyesatan umat Hindu Bali,?. Seolah-olah dunia yang tidak kelihatan (niskala) bisa diatur dari dunia sekala ini. Seakan-akan, segalanya bisa diatur dengan upakara. Kalau begitu, upakara tidak ubahnya seperti remote control, merubah sesuatu, agar sesuai dengan keinginan kita, dari jarak jauh. Masuk di akalkah itu?. Dimana logikanya?. Bahkan anggapan, pendapat seperti ini telah mengingkari adanya Hukum Karma Phala, salah satu dasar kepercayaan agama Hindu yang tertuang dalam Panca Sradha.

Sesuai dengan ajaran agama (Hinduisme), Roh akan mendapat tempat di dunia sana (niskala), tergantung dari perilaku dan perbuatan di masa hidupnya (berlaku Hukum Karma Phala). Bukan tergantung dari besar kecilnya upakara yang dibuatkan. Seperti apa yang diceritakan dalam pewayangan, seorang Dharmawangsa (simbol orang yang menjalankan kebajikan, kejujuran, dharma), datang ke sorga hanya membawa catatan perbuatan-perbuatannya, subha asubha karma (perbuatan baik dan perbuatan buruk), tidak lebih.

Jika demikian, apakah berlebihan jika umat Hindu Bali dikatakan lebih serius mengurus kematian, ditimbang kehidupan?

Bali sering berurusan dengan hari raya, otonan untuk: ilmu pengetahuan, lingkungan, uang, pohon, ternak, benda-benda pusaka atau kesenian. Tapi Bali tak punya hari suci khusus untuk berderma, tak mengenal hari tumpek atau otonan untuk sedekah. Di Bali, kemiskinan dengan kekayaan, rezeki dan derma, tak punya kaitan, tak ada ikatan. Memang ironis. (Oleh : I Gusti Made Darmaweda, 4 Maret 2012)