Sabtu, 23 November 2013

Bli Ketut Adnyana dan Bedah Buku Michel Picard

http://books.google.de/books?id=uwPuIPTuqNMC&printsec=frontcover&hl=de#v=onepage&q&f=false



Bersama Bli Ketut Adnyana
Bedah Buku: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata

Sekilas melihat cover buku ini dan membaca beberapa halamannya yang di ijinkan untuk di baca secara gratis lewat internet, sepertinya buku ini layak untuk di rekomendasikan untuk di baca oleh para aktifis metrobali di sini. Penulisnya adalah orang asing Michel Pichard. Menarik mengetahui pandangan orang asing terhadap pariwisata di bali.

Dapatkah orang Bali memproleh manfaat dari Pariwisata tanpa kehilangan budayanya ?

Kajian atas tulisan tentang dampak sosial budaya pariwisata menunjukkan bahwa, untuk sebagian besar penulis Bali adalah contoh ideal "Pariwisata budaya yang di rancang dengan baik" sebagaimana didambakan oleh WTO (world trade organisation).

Bali adalah sebuah daerah tujuan wisata (DTW) dimana pariwisata konon telah turut melestarikan dan merangsang kembali warisan budaya setempat, sehingga "renaisans budaya" sering terdengar mengenai hal ini.

Namun walaupun kebanyakan penulis sepakat menilai kasus bali secara positif, tidak sedikit pula yang justru melihat kasus Bali sebagai contoh dimana pariwisata telah merusaak kebudayaan setempat.

Demikian kutipan buku ini yang di muat di halaman 170. (bukunya bisa di temukan di google berikut ini: http://books.google.de/books?id=uwPuIPTuqNMC&printsec=frontcover&hl=de#v=onepage&q&f=false )

Bagi yang tertarik mengetahui apa itu pariwisata budaya, secara singkat juga di tuliskan di wikipedia berikut ini:

Pariwisata berbasis budaya

Wisata berbasis budaya adalah salah satu jenis kegiatan pariwisata yang menggunakan kebudayaan sebagai objeknya.

Ada 12 unsur kebudayaan yang dapat menarik kedatangan wisatawan, yaitu:

1. Bahasa (language).
2. Masyarakat (traditions).
3. Kerajinan tangan (handicraft).
4. Makanan dan kebiasaan makan (foods and eating habits).
5. Musik dan kesenian (art and music).
6. Sejarah suatu tempat (history of the region)
7. Cara Kerja dan Teknolgi (work and technology).
8. Agama (religion) yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang dapat disaksikan.
9. Bentuk dan karakteristik arsitektur di masing-masing daerah tujuan wisata (architectural characteristic in the area).
10. Tata cara berpakaian penduduk setempat (dress and clothes).
11. Sistem pendidikan (educational system).
12. Aktivitas pada waktu senggang (leisure activities).

Objek-objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk turis, dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Dalam hal inilah seringkali terdapat kesenjangan selera antara kalangan seni dan kalangan industri pariwisata. Kompromi-kompromi sering harus diambil. Kalangan seni mengatakan bahwa pengemasan khusus objek-objek tersebut untuk turis akan menghilangkan keaslian dari suatu budaya, sedangkan kalangan pariwisata mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah salah asalkan tidak menghilangkan substansi atau inti dari suatu karya seni.

Kontroversi

Dalam perkembangannya pemanfaatan budaya untuk sektor pariwisata terdapat pro dan kontra.

Pariwisata merusak budaya

Kaum yang menentang pariwisata berbasis budaya berpendapat bahwa kedatangan turis ke daerah tujuan wisata dapat merusak keaslian atau keutuhan hayati suatu produk budaya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau, menghancurkan kebudayaan lokal. Pariwisata secara langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan. Contoh kasusnya adalah Sendra Tari Ramayana, tidak lagi disajikan secara utuh, peranan skenario tidak berfungsi lagi. Selain itu, tari Kecak juga mengalami nasib serupa. Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di Bali, kelihatan nilai sakralnya sudah terpotong-potong karena harus disesuaikan dengan waktu wisatawan yang ingin menyaksikannya

Pariwisata memperkuat budaya

Walaupun tidak sedikit pihak yang menentang perkembangan pariwisata berbasis budaya ini, namun banyak juga Sosiolog dan Antropolog yang justru melihat bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak kebudayaan, melainkan justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut involusi kebudayaan (cultural involution). Hal tersebut bisa dilihat dari kasus Bali.

McKean (1978) mengatakan, meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, … semua itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional … Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi.

Philip F. McKean (1973) bahkan menulis bahwa “the traditions of Bali will prosper in direct proportion to the success of tourist industry” (dikutip dalam Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat (Lansing, 1974).

Tidak ada budaya asli

Terlepas dari pro kontra tersebut, sosiolog Selo Soemardjan mengungkapkan pendapatnya. Menurutnya, kebudayaan akan terus berkembang, karena memang dengan sengaja atau tidak, memang terus berkembang, karena adanya rangsangan, seperti adanya perkembangan industri pariwisata. Proses saling memengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan memengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah, atau dengan kata lain budaya adalah suatu hal yang dinamis, yang terus berkembang seiring perputaran waktu, baik karena dipengaruhi pariwisata ataupun dipengaruhi masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.

Perkembangan

Pada waktunya nanti, diramalkan objek wisata yang diminati wisman (wisatawan mancanegara)lebih banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa merupakan “komoditi” utama untuk menarik wisman berkunjung ke Indonesia.

Di samping itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PATA tahun 1961 di Amerika Utara, diperoleh suatu kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi Asia dan daerah Pasifik, motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan menyaksikan adat-istiadat, the way of life, peninggalan sejarah, bangunan-bangunan kuno yang tinggi nilainya.

Pendapat tersebut tidaklah salah. Menurut penelitian Citra Pariwisata Indonesia pada tahun 2003, budaya merupakan elemen pariwisata yang paling menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Budaya mendapatkan skor 42,33 dari wisatawan mancanegara dalam kategori 'sangat menarik' dan berada di atas elemen lainnya seperti keindahan alam dan peninggalan sejarah, dengan skor masing-masing 39,42 dan 30,86. Hal tersebut membuktikan bahwa atraksi budaya merupakan hal yang paling disukai para turis dari pariwisata di Indonesia.