Senin, 07 April 2014

Dharma Hindu Bali

 https://www.facebook.com/DharmaHinduBali/photos/a.230757910447157.1073741828.230503790472569/230889707100644/?type=1

Om Swastiastu,

Sebelum membahas lebih lanjut Dharma Hindu Bali, ada baiknya diketahui lebih dahulu 3 Orang yang adalah peletak dasar-dasar Dharma Hindu Bali, yakni;

IDA RSI MARKENDYA
IDA MPU KUTURAN
IDA PEDANDA SAKTI WAWU RAUH / DHANGHYANG NIRARTA

Berbicara tentang tokoh disini yang dimaksud adalah tokoh spritual, tokoh agama, tokoh rokhaniawan, yang memiliki andil membangun atau menata Bali sehingga menjadi pulau yang tertata rapi. Sebenarnya banyak sekali tokoh seperti tersebut di atas yang mempunyai andil dari jaman dahulu, namun disini akan saya tulis tiga tokoh saja, sebab tiga tokoh inilah yang paling menonjol perannya. Kalau pembaca nanti mengetahui ada tokoh penting lagi selain ini, nanti pada kesempatan yang lain kita bicarakan.

Adapun tokoh-tokoh tersebut adalah;

I.Ida Rsi Markendya.

Beliau adalah seorang tokoh Hindu beraliran Siwa, menurut cerita orang Beliu berasal dari India Selatan. Beliau inilah yang datang ke Bali menata Bali dengan menanam Panca Datu di Pura Besakih, dan Beliau pula menata sistim kemasyarakatan yang sekarang ada kita warisi berupa banjar, desa pakraman dalam perjalanannya beliau. Jadi Ida Rsi Markendya merupakan tokoh yang sangat penting kita harus ketahui dan kita sucikan serta kita hormati. Peninggalan Beliau sekarang banyak ada di Bali salah satunya adalah; Pura Gunung Lebah di Campuhan Ubud Gianyar, Pura Gunung Raung di Desa Taro, Payangan, Gianyar. sistem subak, banyak lagi jasa-jasa Beliau di Bali yang ada kaitannya dengan pembangunan fisik dan pembangunan moral.

II. Ida Mpu Kuturan.

Setelah Ida Rsi Markendya Moksa, maka selanjutnya sejalan dengan perjalanan sejarah, maka datanglah Ida Mpu Kuturan ke Bali. Kedatangan Beliau ke Bali melanjutkan dan memperkaya konsep yang telah di bangun sebelumnya oleh tokoh terdahulu (Ida Rsi Markendya), misalnya kedatangan Mpu Kuturan ke Bali menambah konsep Merajan (Rong Tiga/kemulan), adanya pura kahyangan tiga di setiap desa adat dan menambah dengan konsep pelinggih berupa meru. Banyak lagi. Yang paling penting adalah jasa Beliau Mpu Kuturan menyatukan sekta-sekta yang ada di Bali menjadi satu kesatuan berupa Agama di Bali yang kita warisi sampai sekarang. Peninggal itu ada berupa pura besar yaitu Pura Samuan Tiga, di Desa bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar.

III. Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh / Dhanghyang Nirarta

Beliau juga sangat terkenal dengan panggilan Ida Dang Hyang Dwijendra atau Dang Hyang Nirarta. Ini adalah Tokoh terakhir yang datang ke Bali yang ikut memberi andil dibidang pembangunan Bali berkisar antara abad ke-15/16, Beliau sangat menghormati pendahulunya, sehingga konsep apa yang ditanamkan oleh pendahulunya Beliau melanjutkan dan memperkaya lagi dengan sebuah konsep Padma, sehingga kita mengenal bangunan ( pelinggih ) Padmasana.

Kedatangan Beliau ke Bali membawa misi:
"tetap menegakan ajaran agama Hindu di pulau yang kecil ini, dengan menata kehidupan orang Bali yang belum ditata oleh pendahulunya".

Sehingga sampai sekarang banyak sekali Tempat Suci tempat memuja Beliau, yang posisi pura itu kebanyakan di tepi pantai, tak ubahnya seperti memagari pulau bali ini, ( Baca lontar Dwijendratattwa.)

Jadi ketiga tokoh inilah yang menata Bali dengan sangat apik dan rapi sehingga Hindu bisa bertahan ada sampai jaman Globalisasi sekarang ini, tidak terlepas pula dari tokoh yang lain yang mungkin datang terlebih dahulu, namun pada saat ini kita akan fokus pada perjuangan tiga tokoh ini. Suatu hal yang yang penting kita harus pahami dan praktikan cara berpikir Beliau-Beliau itu adalah;

Menghormati hasil karya pendahulunya, dan melanjutkan serta menambah dengan tidak merusak yang telah ada sebelumnya. Walaupun rentang waktu keberadaan Beliau-Beliau itu sangat panjang sekali, namun pemikiran yang amat berlian itu telah tercermin ada di jaman yang belum ada komputer.

Dari hasil karya Beliaulah muncul julukan-julukan untuk Bali antara lain; Bali Pulau Dewata, Bali Pulau Seribu Pura, Bali Pulau Sorga, Bali pulau Damai dsb. Maka dari itulah kita sekarang yang paling bertanggung jawab untuk dapat melestarikan hasil karya leluhur kita itu.

Setelah kita mati secara pelan-pelan, maka konsep kehidupan yang damai sangat banyak berserakan di pulau Bali ini, yang mana semua itu adalah hasil karya Beliau-Beliau tadi. Untuk itu marilah kita pahami dan kita hayati pelan pelan pula agar Bali bisa bertahan ajeg dapat dinikmati oleh anak, cucu kita nanti. Saya sendiri sering bertanya kepada diri saya sendiri dengan pertanyaan seperti ini; UNTUK APA KAU MEYAKINI IDA DHANGHYANG DWIJENDRA SEBAGAI LELANGITMU?

Jawaban inilah yang sedang saya cari, dan untuk menjawab inipun tidak bisa minta iawaban kepada orang lain. Pertanyaan seperti inilah membangkitkan perasaan saya lebih mencintai Bali dalam artian yang luas. Mudah-mudahan saudara- saudara juga mau menanyakan diri saudara sendiri dengan pertanyaan seperti itu dan menjawabnya sendiri.

Om, Santih, Santih, Santih, Om

(Sumber: Dharma Hindu Bali | Agama Hindu Bali, Ida Bagus Ketut Gede, Gerya Telaga Tegal Pemecutan Kelod, Denpasar dan Ida Pedanda Gede Made Gunung, Griya Purnawati, Blahbatuh, Gianyar)

Kamis, 13 Maret 2014

Ajaran Siwa Pasupata dan Buda Mahayana. Pelaksanaan Pagerwesi & Galungan di Buleleng. Oleh Adnyana Ole.

Ajaran Siwa Pasupata dan Buda Mahayana

 http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/4/9/bd2.htm
 
TERNYATA bukan hanya antara Buleleng dan kabupaten lain di Bali yang melaksanakan perayaan Pagerwesi secara berbeda. Di Kabupaten Buleleng sendiri juga terdapat perbedaan menonjol dalam menyikapi perayaan Pagerwesi yang jatuh pada Buda Kliwon Sinta ini. Di Buleleng Timur, mulai dari Desa Kalibukbuk hingga Tejakula, dikenal merayakan Pagerwesi secara meriah. Sementara di Buleleng Barat, tepatnya di sebelah barat Desa Kalibukbuk, seperti Kecamatan Banjar, Seririt, Grokgak dan Busungbiu, pelaksanaan upacaranya sama dengan sebagian besar umat di Bali Selatan, merayakan Pagerwesi secara sederhana.
 
Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba memaparkan, dari segi tradisi adat dan agama memang dua wilayah di Buleleng, yakni Buleleng Timur yang kerap dikenal dengan sebutan Dangin Enjung dan Buleleng Barat atau Dauh Enjung ini, mempunyai perbedaan yang cukup menonjol. Meski belakangan ini, perbedaan tersebut tidaklah terlalu kentara.
 
Kenapa dua wilayah ini berbeda dalam melaksanakan perayaan Pagerwesi? Di Buleleng Timur, terutama Kota Singaraja, merayakan Pagerwesi secara besar-besaran, sampai memotong hewan piaraan untuk banten soda, punjung dan sejenisnya. Sementara umat di bagian barat merayakannya dengan sangat sederhana. Misalnya, hanya ngaturang canang sari atau canang raka.
 
Setelah dikaji dalam kelompok yang dipimpinnya itu, Simba mendapatkan jejak sejarah yang lumayan panjang. Menurutnya, selama ini Buleleng dikenal sebagai pintu masuknya budaya luar. Atau menjadi transit budaya dan rancang bangun budaya Bali.
 
Ajaran dan budaya yang datang dari berbagai kelompok ras sempat datang ke Buleleng, seperti Timur Tengah, Mesir dan Babilonia. Juga dari Asia seperti India, Tiongkok, Vietnam dan sekitarnya. Menurutnya, invasi ajaran dan budaya itu masuk ke Buleleng sejak awal abad Masehi. Khusus untuk penyebaran agama Hindu, Simba mengatakan, ajaran itu datang dari pedagang dan pengembang agama dari India.
 
Dalam ajaran Hindu ini, menurut Simba, Buleleng mewarisi dua tradisi yang berbeda karena terdapat dua dinasti yang masuk ke wilayah pantai utara Bali ini. Pertama, dinasti pendukung ajaran Siwa Pasupata dari Dinasti Sanjaya dan Sanaha di Jawa Tengah masuk melalui pedagang dan pengembang agama yang masuk di wilayah Buleleng bagian timur. Ajaran itu kemudian dikembangkan Rsi Agastia sehingga menyebar di Bali.
 
Sementara di Buleleng Barat kemungkinan masuknya Dinasti Warman dengan sekte Buda Mahayana. Ajaran ini ternyata bukan hanya berkembang di Buleleng Barat, namun juga melebar ke Bali Selatan. Dari Buleleng Barat ajaran ini meluas ke wilayah perbukitan sampai di Tamblingan, lalu ke Candi Kuning yang ditandai dengan adanya Pura Terate Mas dan lain-lainnya, lalu ke timur menuju Pucak Mangu, kemudian meluas ke Batur, dan ke timur lagi menuju sumber kebenaran hingga ke Besakih.
 
Simba menunjukkan bukti bahwa di Besakih memang menyebar Buda Mahayana dengan adanya upacara piodalan yang tepat pada purnama kadasa. Hari itu, menurutnya, adalah hari Waisak.
 
Beda Itu Kaya
Dengan adanya dua perbedaan ini mana yang harus dikembangkan dan mana yang harus dimatikan? Simba dengan tegas mengatakan kedua-keduanya tak boleh dimatikan. Menurutnya, biarkan saja dua cara merayakan hari agama tersebut berkembang sesuai zamannya. Sebab, perbedaan itu sebuah kekayaan. ''Bhineka adalah suatu khazanah kekayaan agama kita,'' katanya. Sebab, menurutnya, satu tradisi tak bisa dijadikan barometer kebenaran. Keyakinanlah yang menjadi barometer.
 
Hal senada disampaikan Klian Adat Buleleng Made Rimbawa, B.A. Menurutnya, perbedaan yang terjadi dalam pelaksanaan hari-hari raya agama jangan dianggap sebagai sebuah kekurangan di satu tempat dan kelebihan di tempat lain. Adat memang berbeda-beda sesuai desa mawacara dan desa kala patra. Karena perbedaan itula yang membikin adat dan budaya Bali ini jadi lebih kaya. ''Bahkan perbedaan ini juga membuat kita menjadi lebih kuat,'' tandasnya.
 
Seorang mahasiswi dari daerah Banyuasri, Buleleng, mengatakan dirinya sangat menikmati adanya perayaan Pagerwesi yang berbeda dengan daerah lain di Bali. Perempuan yang mengaku bernama Yesi dan sedang menempuh kuliah di sebuah perguruan tinggi di Denpasar ini rela untuk pulang kampung guna mengikuti prosesi upacara Pagerwesi di daerahnya. Pagerwesi di Buleleng, bagi Yesi, adalah hari raya yang unik. Sehari sebelum puncak hari raya, ia bersama keluarga melakukan kegiatan ngelawar, bikin sate dan kuah daging, yang kemudian dilanjutkan dengan sedikit pesta. Lalu tepat pada puncak hari raya, Yesi bersama keluarga mengaturkan punjung ke kuburan. ''Uniknya, bukan hanya kita yang berpesta pada hari raya, tetapi juga leluhur kita,'' katanya.
 
Namun, Yesi melihat perayaan Pagerwesi kali ini tidak semeriah hari raya sebelumnya. Kurang meriahnya perayaan kali ini mungkin disebabkan krisis ekonomi yang masih melanda mesyarakat Indonesia, termasuk juga di Buleleng. Jika dulu orang biasa membeli daging cukup banyak, kali ini cukup membeli sekadarnya di pasar. ''Namun begitu sebagian besar umat masih merayakan dengan semangat. Ini terlihat dari pasar yang selalu ramai menjelang Pagerwesi,'' katanya.

Rabu, 08 Januari 2014

Edo Wira Candra. Sumpah, sakit itu ga enak ya......



https://www.facebook.com/dr.edo.candra/posts/10202829868255804 9 Januari 2014
Mengutip tulisan TS SpOG yg bertugas di RSUD dr Soetomo (PPK III) : MAAF, INI BUKAN SALAH KITA.....

Akhirnya, yang saya takutkan terjadi juga. Saya 'harus' bertemu dengan pasien BPJS, yang ternyata adalah istri dari seorang teman sejawat dokter umum.

Pasien primigravida, datang jam setengah empat sore ke UGD dengan keluhan ketuban pecah dan letak lintang. Pasien tidak pernah ANC di saya. Setelah dihitung, usia kehamilannya masih sekitar 35 minggu. ANC terakhir adalah sebulan yang lalu di SpOG yang lain. Dari anamnesis, ternyata si pasien punya riwayat gula darah tinggi. Itu saja yang bisa saya gali (sungguh hal tidak menyenangkan bagi seorang SpOG bila 'kedatangan" pasien yang tidak pernah ANC kepadanya ok harus meraba2 masalah pada pasien).

Dan episode berikutnya, adalah episode2 yang harus membuat saya menangis tak terperikan dalam hati. Pasien saya rencanakan SC cito. Pertanyaan yang pedih ketika dokter jaga menghubungi saya,"dokter mau mengerjakan pasien BPJS?". Pedih, karena semua sejawat SpOG pasti tahu nominal biaya paket SC. Sekitar 3-4 juta. Itu total Jenderal, sudah termasuk sewa OK, obat bius, benang benang jahit, perawatan di ruangan, infus dan obat di ruangan. Lalu berapa honor yang harus diterima seorang SpOG? Tergantung. Yah, tergantung sisa hal2 di atas. Bisa saja cuma 60 ribu seperti yang pernah dialami sejawat saya.

Tapi, bukan itu yang membuat saya pedih. Toh, selama ini, kami para dokter sudah biasa mendiskon pasien, menggratiskan pasien dll. Yang membuat pedih adalah pertanyaan itu. Ini soal hati nurani. Apa mungkin saya menjawab tidak???
Pedih berikutnya, adalah ketika saya harus menunggu satu jam lebih untuk mendapatkan kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi. Katanya, masih menunggu proses administrasi BPJS yang katanya online nya sedang lemot. Dan benar2 hati saya harus deg2an bercampur pedih itu tadi. Mau menunggu sampai kapan.Sampai jadi kasus kasep? Sementara urusan administrasi bukan wewenang kami para dokter.

Setelah dengan sedikit pemaksaan, pasien akhirnya bisa sampai di kamar operasi. Lagi2 saya harus pedih. Berdua dengan sejawat anestesi, kami harus berhemat luar biasa. Saya sibuk berhemat benang, dan dia sibuk memilihkan obat bius yang murah meriah. Aduhai, operasi yang sama sekali tidak indah buat saya....

Selesaikah pedih saya? Ternyata belum. Pasca operasi, saya dihubungi apotek. "Dok maaf, obat nyeri nya tidak ditanggung, obat untuk mobilitas usus juga tidak ditanggung," hiks....Apakah kami para dokter ini jadi dipaksa bekerja di bawah standar oleh pemerintah? Dan, saya pun ikut merasakan betapa pasien masih merasakan kesakitan pasca SC. Sungguh, maaf, ini bukan salah kita, pasien ku sayang....

Bahkan, obat nyeri yang oral pun terpaksa bukan yang biasa kami berikan. Pedih dan perih hati kami. Seperti inikah pengobatan gratis yang dijanjikan oleh Pemerintah? (Tapi sebenarnya tidak gratis bagi PNS, karyawan, buruh dan orang mampu yang nanti dipaksa ikut BPJS). Kami harus bekerja dengan pengobatan ala kadarnya yang membuat kesedihan luar biasa bagi kami. Kami merindukan pasien2 tersenyum bahagia.
Dan...kepedihan yang paling2 pedih adalah harus menghadapi kenyataan bahwa malam ini, pasien BPJS saya adalah istri seorang sejawat dokter umum yang tercatat sebagai PNS di sebuah Puskesmas. Bayangkan, seorang ujung tombak lini depan pelayan kesehatan yang notabene pekerja Pemerintah, harus mendapatkan pelayanan BPJS seperti ini.

Dan...menangislah saya, karena kalau BPJS tetap berjalan seperti ini, bukannya tidak mungkin, saya dan kita semua akan mengalami hal yang sama dengan istri sejawat saya ini. Karena kelak, BPJS ini wajib untuk semua rakyat dan semua RS. Karena pemerintah pun menjadi tukang paksa bagi seluruh isi negerinya..,,Rakyat dipaksa ikut BPJS, karyawan swasta harus ikut BPJS, seluruh RS wajib melayani BPJS dan dokter pun harus melayani sesuai standar BPJS yang ala kadarnya...

Maaf, tapi ini bukan salah kita....