http://books.google.de/books?id=uwPuIPTuqNMC&printsec=frontcover&hl=de#v=onepage&q&f=false
Bersama Bli Ketut Adnyana
Bedah Buku: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata
Sekilas melihat cover buku ini dan membaca beberapa halamannya yang di
ijinkan untuk di baca secara gratis lewat internet, sepertinya buku ini
layak untuk di rekomendasikan untuk di baca oleh para aktifis metrobali
di sini. Penulisnya adalah orang asing Michel Pichard. Menarik
mengetahui pandangan orang asing terhadap pariwisata di bali.
Dapatkah orang Bali memproleh manfaat dari Pariwisata tanpa kehilangan budayanya ?
Kajian atas tulisan tentang dampak sosial budaya pariwisata menunjukkan
bahwa, untuk sebagian besar penulis Bali adalah contoh ideal
"Pariwisata budaya yang di rancang dengan baik" sebagaimana didambakan
oleh WTO (world trade organisation).
Bali adalah sebuah daerah
tujuan wisata (DTW) dimana pariwisata konon telah turut melestarikan dan
merangsang kembali warisan budaya setempat, sehingga "renaisans budaya"
sering terdengar mengenai hal ini.
Namun walaupun kebanyakan
penulis sepakat menilai kasus bali secara positif, tidak sedikit pula
yang justru melihat kasus Bali sebagai contoh dimana pariwisata telah
merusaak kebudayaan setempat.
Demikian kutipan buku ini yang di muat di halaman 170. (bukunya bisa di temukan di google berikut ini: http://books.google.de/books?id=uwPuIPTuqNMC&printsec=frontcover&hl=de#v=onepage&q&f=false )
Bagi yang tertarik mengetahui apa itu pariwisata budaya, secara singkat juga di tuliskan di wikipedia berikut ini:
Pariwisata berbasis budaya
Wisata berbasis budaya adalah salah satu jenis kegiatan pariwisata yang menggunakan kebudayaan sebagai objeknya.
Ada 12 unsur kebudayaan yang dapat menarik kedatangan wisatawan, yaitu:
1. Bahasa (language).
2. Masyarakat (traditions).
3. Kerajinan tangan (handicraft).
4. Makanan dan kebiasaan makan (foods and eating habits).
5. Musik dan kesenian (art and music).
6. Sejarah suatu tempat (history of the region)
7. Cara Kerja dan Teknolgi (work and technology).
8. Agama (religion) yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang dapat disaksikan.
9. Bentuk dan karakteristik arsitektur di masing-masing daerah tujuan wisata (architectural characteristic in the area).
10. Tata cara berpakaian penduduk setempat (dress and clothes).
11. Sistem pendidikan (educational system).
12. Aktivitas pada waktu senggang (leisure activities).
Objek-objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk
turis, dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Dalam hal inilah
seringkali terdapat kesenjangan selera antara kalangan seni dan kalangan
industri pariwisata. Kompromi-kompromi sering harus diambil. Kalangan
seni mengatakan bahwa pengemasan khusus objek-objek tersebut untuk turis
akan menghilangkan keaslian dari suatu budaya, sedangkan kalangan
pariwisata mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah salah asalkan tidak
menghilangkan substansi atau inti dari suatu karya seni.
Kontroversi
Dalam perkembangannya pemanfaatan budaya untuk sektor pariwisata terdapat pro dan kontra.
Pariwisata merusak budaya
Kaum yang menentang pariwisata berbasis budaya berpendapat bahwa
kedatangan turis ke daerah tujuan wisata dapat merusak keaslian atau
keutuhan hayati suatu produk budaya. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa pariwisata telah merusak atau, menghancurkan kebudayaan lokal.
Pariwisata secara langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk
dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya
dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan. Contoh kasusnya
adalah Sendra Tari Ramayana, tidak lagi disajikan secara utuh, peranan
skenario tidak berfungsi lagi. Selain itu, tari Kecak juga mengalami
nasib serupa. Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di Bali,
kelihatan nilai sakralnya sudah terpotong-potong karena harus
disesuaikan dengan waktu wisatawan yang ingin menyaksikannya
Pariwisata memperkuat budaya
Walaupun tidak sedikit pihak yang menentang perkembangan pariwisata
berbasis budaya ini, namun banyak juga Sosiolog dan Antropolog yang
justru melihat bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak
kebudayaan, melainkan justru memperkuat, karena terjadinya proses yang
disebut involusi kebudayaan (cultural involution). Hal tersebut bisa
dilihat dari kasus Bali.
McKean (1978) mengatakan, meskipun
perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, … semua itu terjadi
secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan
tradisional … Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses
konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi.
Philip F. McKean (1973) bahkan menulis bahwa “the traditions of Bali
will prosper in direct proportion to the success of tourist industry”
(dikutip dalam Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak
kepariwisataan di Bali bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya,
dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural,
melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat (Lansing,
1974).
Tidak ada budaya asli
Terlepas dari pro
kontra tersebut, sosiolog Selo Soemardjan mengungkapkan pendapatnya.
Menurutnya, kebudayaan akan terus berkembang, karena memang dengan
sengaja atau tidak, memang terus berkembang, karena adanya rangsangan,
seperti adanya perkembangan industri pariwisata. Proses saling
memengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat.
Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia
ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum
Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan memengaruhi.
Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan
manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan
keadaan yang senantiasa berubah, atau dengan kata lain budaya adalah
suatu hal yang dinamis, yang terus berkembang seiring perputaran waktu,
baik karena dipengaruhi pariwisata ataupun dipengaruhi masyarakat
pemilik kebudayaan itu sendiri.
Perkembangan
Pada
waktunya nanti, diramalkan objek wisata yang diminati wisman (wisatawan
mancanegara)lebih banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa.
Oleh karena itu dalam industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa
merupakan “komoditi” utama untuk menarik wisman berkunjung ke
Indonesia.
Di samping itu, berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh PATA tahun 1961 di Amerika Utara, diperoleh suatu
kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi Asia dan daerah
Pasifik, motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan
menyaksikan adat-istiadat, the way of life, peninggalan sejarah,
bangunan-bangunan kuno yang tinggi nilainya.
Pendapat tersebut
tidaklah salah. Menurut penelitian Citra Pariwisata Indonesia pada
tahun 2003, budaya merupakan elemen pariwisata yang paling menarik minat
wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Budaya mendapatkan
skor 42,33 dari wisatawan mancanegara dalam kategori 'sangat menarik'
dan berada di atas elemen lainnya seperti keindahan alam dan peninggalan
sejarah, dengan skor masing-masing 39,42 dan 30,86. Hal tersebut
membuktikan bahwa atraksi budaya merupakan hal yang paling disukai para
turis dari pariwisata di Indonesia.