https://www.facebook.com/dr.edo.candra/posts/10202829868255804 9 Januari 2014
Mengutip tulisan TS SpOG yg bertugas di RSUD dr Soetomo (PPK III) : MAAF, INI BUKAN SALAH KITA.....
Akhirnya, yang saya takutkan terjadi juga. Saya 'harus' bertemu dengan
pasien BPJS, yang ternyata adalah istri dari seorang teman sejawat
dokter umum.
Pasien primigravida, datang jam setengah empat
sore ke UGD dengan keluhan ketuban pecah dan letak lintang. Pasien
tidak pernah ANC di saya. Setelah dihitung, usia kehamilannya masih
sekitar 35 minggu. ANC terakhir adalah sebulan yang lalu di SpOG yang
lain. Dari anamnesis, ternyata si pasien punya riwayat gula darah
tinggi. Itu saja yang bisa saya gali (sungguh hal tidak menyenangkan
bagi seorang SpOG bila 'kedatangan" pasien yang tidak pernah ANC
kepadanya ok harus meraba2 masalah pada pasien).
Dan episode
berikutnya, adalah episode2 yang harus membuat saya menangis tak
terperikan dalam hati. Pasien saya rencanakan SC cito. Pertanyaan yang
pedih ketika dokter jaga menghubungi saya,"dokter mau mengerjakan pasien
BPJS?". Pedih, karena semua sejawat SpOG pasti tahu nominal biaya paket
SC. Sekitar 3-4 juta. Itu total Jenderal, sudah termasuk sewa OK, obat
bius, benang benang jahit, perawatan di ruangan, infus dan obat di
ruangan. Lalu berapa honor yang harus diterima seorang SpOG? Tergantung.
Yah, tergantung sisa hal2 di atas. Bisa saja cuma 60 ribu seperti yang
pernah dialami sejawat saya.
Tapi, bukan itu yang membuat saya
pedih. Toh, selama ini, kami para dokter sudah biasa mendiskon pasien,
menggratiskan pasien dll. Yang membuat pedih adalah pertanyaan itu. Ini
soal hati nurani. Apa mungkin saya menjawab tidak???
Pedih
berikutnya, adalah ketika saya harus menunggu satu jam lebih untuk
mendapatkan kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi. Katanya, masih
menunggu proses administrasi BPJS yang katanya online nya sedang lemot.
Dan benar2 hati saya harus deg2an bercampur pedih itu tadi. Mau
menunggu sampai kapan.Sampai jadi kasus kasep? Sementara urusan
administrasi bukan wewenang kami para dokter.
Setelah dengan
sedikit pemaksaan, pasien akhirnya bisa sampai di kamar operasi. Lagi2
saya harus pedih. Berdua dengan sejawat anestesi, kami harus berhemat
luar biasa. Saya sibuk berhemat benang, dan dia sibuk memilihkan obat
bius yang murah meriah. Aduhai, operasi yang sama sekali tidak indah
buat saya....
Selesaikah pedih saya? Ternyata belum. Pasca
operasi, saya dihubungi apotek. "Dok maaf, obat nyeri nya tidak
ditanggung, obat untuk mobilitas usus juga tidak ditanggung,"
hiks....Apakah kami para dokter ini jadi dipaksa bekerja di bawah
standar oleh pemerintah? Dan, saya pun ikut merasakan betapa pasien
masih merasakan kesakitan pasca SC. Sungguh, maaf, ini bukan salah kita,
pasien ku sayang....
Bahkan, obat nyeri yang oral pun terpaksa
bukan yang biasa kami berikan. Pedih dan perih hati kami. Seperti
inikah pengobatan gratis yang dijanjikan oleh Pemerintah? (Tapi
sebenarnya tidak gratis bagi PNS, karyawan, buruh dan orang mampu yang
nanti dipaksa ikut BPJS). Kami harus bekerja dengan pengobatan ala
kadarnya yang membuat kesedihan luar biasa bagi kami. Kami merindukan
pasien2 tersenyum bahagia.
Dan...kepedihan yang paling2 pedih adalah
harus menghadapi kenyataan bahwa malam ini, pasien BPJS saya adalah
istri seorang sejawat dokter umum yang tercatat sebagai PNS di sebuah
Puskesmas. Bayangkan, seorang ujung tombak lini depan pelayan kesehatan
yang notabene pekerja Pemerintah, harus mendapatkan pelayanan BPJS
seperti ini.
Dan...menangislah saya, karena kalau BPJS tetap
berjalan seperti ini, bukannya tidak mungkin, saya dan kita semua akan
mengalami hal yang sama dengan istri sejawat saya ini. Karena kelak,
BPJS ini wajib untuk semua rakyat dan semua RS. Karena pemerintah pun
menjadi tukang paksa bagi seluruh isi negerinya..,,Rakyat dipaksa ikut
BPJS, karyawan swasta harus ikut BPJS, seluruh RS wajib melayani BPJS
dan dokter pun harus melayani sesuai standar BPJS yang ala kadarnya...
Maaf, tapi ini bukan salah kita....