http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/4/9/bd2.htm
TERNYATA
bukan hanya antara Buleleng dan kabupaten lain di Bali
yang melaksanakan perayaan Pagerwesi secara berbeda. Di
Kabupaten Buleleng sendiri juga terdapat perbedaan
menonjol dalam menyikapi perayaan Pagerwesi yang jatuh
pada Buda Kliwon Sinta ini. Di Buleleng Timur, mulai dari
Desa Kalibukbuk hingga Tejakula, dikenal merayakan
Pagerwesi secara meriah. Sementara di Buleleng Barat,
tepatnya di sebelah barat Desa Kalibukbuk, seperti
Kecamatan Banjar, Seririt, Grokgak dan Busungbiu,
pelaksanaan upacaranya sama dengan sebagian besar umat di
Bali Selatan, merayakan Pagerwesi secara sederhana.
Ketua Kelompok
Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba
memaparkan, dari segi tradisi adat dan agama memang dua
wilayah di Buleleng, yakni Buleleng Timur yang kerap
dikenal dengan sebutan Dangin Enjung dan Buleleng Barat
atau Dauh Enjung ini, mempunyai perbedaan yang cukup
menonjol. Meski belakangan ini, perbedaan tersebut
tidaklah terlalu kentara.
Kenapa dua wilayah
ini berbeda dalam melaksanakan perayaan Pagerwesi? Di
Buleleng Timur, terutama Kota Singaraja, merayakan
Pagerwesi secara besar-besaran, sampai memotong hewan
piaraan untuk banten soda, punjung dan sejenisnya.
Sementara umat di bagian barat merayakannya dengan sangat
sederhana. Misalnya, hanya ngaturang canang sari atau
canang raka.
Setelah dikaji dalam
kelompok yang dipimpinnya itu, Simba mendapatkan jejak
sejarah yang lumayan panjang. Menurutnya, selama ini
Buleleng dikenal sebagai pintu masuknya budaya luar. Atau
menjadi transit budaya dan rancang bangun budaya Bali.
Ajaran dan budaya
yang datang dari berbagai kelompok ras sempat datang ke
Buleleng, seperti Timur Tengah, Mesir dan Babilonia. Juga
dari Asia seperti India, Tiongkok, Vietnam dan sekitarnya.
Menurutnya, invasi ajaran dan budaya itu masuk ke Buleleng
sejak awal abad Masehi. Khusus untuk penyebaran agama
Hindu, Simba mengatakan, ajaran itu datang dari pedagang
dan pengembang agama dari India.
Dalam ajaran Hindu
ini, menurut Simba, Buleleng mewarisi dua tradisi yang
berbeda karena terdapat dua dinasti yang masuk ke wilayah
pantai utara Bali ini. Pertama, dinasti pendukung ajaran
Siwa Pasupata dari Dinasti Sanjaya dan Sanaha di Jawa
Tengah masuk melalui pedagang dan pengembang agama yang
masuk di wilayah Buleleng bagian timur. Ajaran itu
kemudian dikembangkan Rsi Agastia sehingga menyebar di
Bali.
Sementara di
Buleleng Barat kemungkinan masuknya Dinasti Warman dengan
sekte Buda Mahayana. Ajaran ini ternyata bukan hanya
berkembang di Buleleng Barat, namun juga melebar ke Bali
Selatan. Dari Buleleng Barat ajaran ini meluas ke wilayah
perbukitan sampai di Tamblingan, lalu ke Candi Kuning yang
ditandai dengan adanya Pura Terate Mas dan lain-lainnya,
lalu ke timur menuju Pucak Mangu, kemudian meluas ke
Batur, dan ke timur lagi menuju sumber kebenaran hingga ke
Besakih.
Simba menunjukkan
bukti bahwa di Besakih memang menyebar Buda Mahayana
dengan adanya upacara piodalan yang tepat pada purnama
kadasa. Hari itu, menurutnya, adalah hari Waisak.
Beda Itu
Kaya
Dengan adanya dua
perbedaan ini mana yang harus dikembangkan dan mana yang
harus dimatikan? Simba dengan tegas mengatakan
kedua-keduanya tak boleh dimatikan. Menurutnya, biarkan
saja dua cara merayakan hari agama tersebut berkembang
sesuai zamannya. Sebab, perbedaan itu sebuah kekayaan.
''Bhineka adalah suatu khazanah kekayaan agama kita,''
katanya. Sebab, menurutnya, satu tradisi tak bisa
dijadikan barometer kebenaran. Keyakinanlah yang menjadi
barometer.
Hal senada
disampaikan Klian Adat Buleleng Made Rimbawa, B.A.
Menurutnya, perbedaan yang terjadi dalam pelaksanaan
hari-hari raya agama jangan dianggap sebagai sebuah
kekurangan di satu tempat dan kelebihan di tempat lain.
Adat memang berbeda-beda sesuai desa mawacara dan desa
kala patra. Karena perbedaan itula yang membikin adat dan
budaya Bali ini jadi lebih kaya. ''Bahkan perbedaan ini
juga membuat kita menjadi lebih kuat,'' tandasnya.
Seorang mahasiswi
dari daerah Banyuasri, Buleleng, mengatakan dirinya sangat
menikmati adanya perayaan Pagerwesi yang berbeda dengan
daerah lain di Bali. Perempuan yang mengaku bernama Yesi
dan sedang menempuh kuliah di sebuah perguruan tinggi di
Denpasar ini rela untuk pulang kampung guna mengikuti
prosesi upacara Pagerwesi di daerahnya. Pagerwesi di
Buleleng, bagi Yesi, adalah hari raya yang unik. Sehari
sebelum puncak hari raya, ia bersama keluarga melakukan
kegiatan ngelawar, bikin sate dan kuah daging, yang
kemudian dilanjutkan dengan sedikit pesta. Lalu tepat pada
puncak hari raya, Yesi bersama keluarga mengaturkan
punjung ke kuburan. ''Uniknya, bukan hanya kita yang
berpesta pada hari raya, tetapi juga leluhur kita,''
katanya.
Namun, Yesi melihat
perayaan Pagerwesi kali ini tidak semeriah hari raya
sebelumnya. Kurang meriahnya perayaan kali ini mungkin
disebabkan krisis ekonomi yang masih melanda mesyarakat
Indonesia, termasuk juga di Buleleng. Jika dulu orang
biasa membeli daging cukup banyak, kali ini cukup membeli
sekadarnya di pasar. ''Namun begitu sebagian besar umat
masih merayakan dengan semangat. Ini terlihat dari pasar
yang selalu ramai menjelang Pagerwesi,'' katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar