http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/13/subak-harmonisasi-antara-tuhan-alam-dan-manusia-519200.html
Pada tanggal 29 Juni 2012, UNESCO
menetapkan Subak sebagai salah satu warisan dunia meliputi lima
kabupaten: Gianyar, Badung, Buleleng, Tabanan, dan Bangli. Subak itu
adalah bahasa Bali, yang diketahui berasal dari prasasti kerajaan di
Bali pada abad ke-11. Self-governing (berpemerintahan sendiri)
dan asosiasi para petani yang sangat demokratis yang membagi-bagi
tanggung jawab mereka secara adil dan mengefisiensikan penggunaan air
untuk irigasi untuk menumbuhkan padi adalah semacam prinsip dari subak
itu sendiri. Subak itu sendiri merupakan refleksi dari filosofi orang
Bali yang bernama Tri Hita Karana (tiga kebaikan) yang
mempromosikan hubungan yang harmoni antarindividu dengan penciptanya
(parahyangan), manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan
alam (palemahan). Di subak selalu terdapat pura (water temple)
yang juga menggambarkan sisi spiritual pada penguasaan ekologi si
sawah-sawah itu. Pura, subak, hutan, danau, dan petak-petak sawah adalah
ekspresi kehidupan orang Bali sejak dulu kala melalui pelaksanaan dari
konsep Tri Hita Karana tersebut.
Sisi religius dari subak itu sendiri adalah kepercayaan bahwa perairan irigasi adalah sebuah pemberian dari Dewi Danu (Goddess of the Lake).
Pengelolaan subak ini didasarkan atas keyakinan bahwa manusia harus
mengelola dengan baik setiap pemberian dari yang kuasa. Para petani juga
secara rutin memberikan sebagian kecil dari hasil panennya pada Pura
yang terdapat di lokasi Subak yang didedikasikan kepada Dewi Danu dan
dewa-dewa lain sebagai rasa syukur sekaligus permintaan untuk terus
menyuburkan lahannya. Karena masyarakat Bali percaya bahwa manusia harus
menjaga tanah dan air dengan baik karena itu adalah pemberian dari
dewa-dewi, maka kalau sampai ada keserakahan atas tanah dan air, akan
ada sanksi yaitu pengucilan. Sistem irigasi subak itu sendiri begitu
rumit dan tetap lestari sampai sekarang, dan itulah kenapa subak
dijadikan sebagai warisan dunia. Karena kerumitannya, juga karena aspek
sosial budaya yang terkandung di dalamnya. Saya membayangkan, wah..
berarti orang Bali jaman dulu banget sudah pintar-pintar yaaa… *kagum*
Pengelolaan sistem irigasi yang
konvensional biasanya hanya terpatok pada peraturan-peraturan formal
dengan pola pikir ekonomik. Sedangkan, sistem irigasi pada subak bali
ini berlandaskan harmoni dan kebersamaan, yang ditata sangat baik dan
fleksibel. Subak ini sampai ada organisasi tersendiri yang dibentuk oleh
masyarakat Bali, karena jaman dulu, lingkungan (topografi) dan
sungai-sungai di Bali begitu curam, sehingga perairan menuju persawahan
sangat terbatas. Sehingga, orang-orang Bali bergotong royong untuk
membangun semacam terowongan yang menembus gunung cadas demi mampu
mengaliri sawahnya. Subak dipimpin oleh seorang Pekaseh, petani
yang juga pemimpin adat yang bertugas mengkoordinasikan pengelolaan air
berdasarkan tata tertib yang sudah disepakati. Hukum adat sangat
berperan disini, sehingga petani yang melanggar akan diberikan hukuman.
Ritual-ritual yang dilakukan di
pura-pura di Subak, berfokus pada pemeliharaan hubungan yang harmonis
antar manusia dan alam. Ritual-ritualnya bisa seperti penampilan
musik-musik tradisi, atau penampilan tari topeng, gambuh, wayang,
rejang, dan baris, ada juga pembacaan puisi dengan empat bahasa
(Sanskrit, Bali, Jawa kuno, dan Jawa menengah), dan juga menyerahkan
bunga, buah, dan nasi, juga ritual yang dipimpin oleh sang pemuka agama
setempat. Pura-puranya juga secara kontinyu diperbaiki dengan
mengerahkan tukang batu, para pengukir, pemahat, serta pelukis.
Lokasi si subak-subak itu sendiri ada
lima. Lokasi pertama di Pura Ulun Danu Batur, yang terletak di pinggiran
kawah Danau Batur. Pura nya dikelola oleh warga desa Batur, dan disana
terdapaat 250 subak. Lokasi kedua ada di Danau Batur, yang dipercaya
oleh orang Bali sebagai rumah dari Dewi Danu. Danau itu terletak di
kaldera vulkanik, yang menyimpan air yang sangat berlimpah yang
mengaliri sistem perairan bawah tanah, yang menambah aliran air di
sungai-sungai yang memasuki kanal-kanal irigasi. Danau di bali adalah
sebagai sumber air terbesar untuk subak-subaknya.
Lokasi ketiga terdiri dari beberapa cluster dari
subak, pura, dan desa yang berlokasi di lembah sungai Pakerisan. Bukti
dari para arkeologi mengindikasikan bahwa lembah tersebut adalah asal
muasal dari peradaban orang Bali. Air yang berasal dari sumber mata air
alami disertai dengan pura-pura kuno, masih mampu menghasilkan air
irigasi untuk sawah-sawah yang sudah ada sejak dahulu kala dengan cara
yang masih sangat tradisional. Oh, iya. Informasi aja sih.. kalau
sempat ke Pakerisan, coba mampir ke Pura Tirta Empul, disana ada semacam
pemandian yang lokasinya sih bagus bangeeet.
Lokasi keempat sekaligus yang terbesar
adalah di Catur Angga Batukaru, wilayah yang bisa dibilang ‘keramat’
yang terdiri dari pegunungan, hutan, danau, dan pedesaan. Wilayah ini
meliputi hutan sekaligus gunung api tertinggi kedua di Bali, Gunung
Batukaru, dan juga danau Tamblingan dan Buyan di kabupaten Buleleng,
yang juga sebagai sumber mata air pegunungan yang memberikan air untuk
irigasi di Tabanan. Tabanan dikenal sebagai ‘lumbung padi’ nya Bali,
karena memiliki tanah vulkanik yang super subur dan mengasilkan nasi
merah, putih, dan hitam. Lima pura yang ada disana menggambarkan
lingkungan sekitar itu. Pura yang terbesar, yaitu Pura Luhur Batu yang
didedikasikan sebagai dewa gunung. Empat pura lainnya menggambarkan
wilayah ‘keramat’ nya Tabanan. Sama seperti yang di Pakerisan, Catur
Angga Batukaru pun masih menerapkan cara tradisional, salah satunya
masih menggunakan ani-ani. Lokasi kelima adalah Pura Taman Ayun, yang
berlokasi di jantung kerjaan Mengwi di kabupaten Tabanan, yang juga
merupakan daerah aliran sungai Pakerisan Gianyar dan Batukaru Tabanan.
Pura ini dikelilingi oleh kolam-kolam, dan satu-satunya konsep pura
yang dikelilingi oleh air kolam. Air kolam yang mengelilingi pura ini,
memberikan manfaar bagi pengairan sawah disekitarnya.
Ah, seandainya semua wilayah di Indonesia mengamalkan Tri Hita Karana ya.
Pasti akan damai sekali. Menghormati segala yang telah dibuat oleh sang
pencipta, dengan menjaganya dengan sebaik mungkin. Hasilnya? Kita pun
bisa menikmatinya. Semoga subak-subak di Bali dapat terus lestari di
tengah keserakahan manusia dan gencarnya pembangunan-pembangunan ekonomi
pariwisata Bali. :)
Sekian sharing tentang subaknya. Kalau ada yang mau menambahkan.. silahkan :)
Salam,
Sita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar