Kamis, 13 Maret 2014

Ajaran Siwa Pasupata dan Buda Mahayana. Pelaksanaan Pagerwesi & Galungan di Buleleng. Oleh Adnyana Ole.

Ajaran Siwa Pasupata dan Buda Mahayana

 http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/4/9/bd2.htm
 
TERNYATA bukan hanya antara Buleleng dan kabupaten lain di Bali yang melaksanakan perayaan Pagerwesi secara berbeda. Di Kabupaten Buleleng sendiri juga terdapat perbedaan menonjol dalam menyikapi perayaan Pagerwesi yang jatuh pada Buda Kliwon Sinta ini. Di Buleleng Timur, mulai dari Desa Kalibukbuk hingga Tejakula, dikenal merayakan Pagerwesi secara meriah. Sementara di Buleleng Barat, tepatnya di sebelah barat Desa Kalibukbuk, seperti Kecamatan Banjar, Seririt, Grokgak dan Busungbiu, pelaksanaan upacaranya sama dengan sebagian besar umat di Bali Selatan, merayakan Pagerwesi secara sederhana.
 
Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba memaparkan, dari segi tradisi adat dan agama memang dua wilayah di Buleleng, yakni Buleleng Timur yang kerap dikenal dengan sebutan Dangin Enjung dan Buleleng Barat atau Dauh Enjung ini, mempunyai perbedaan yang cukup menonjol. Meski belakangan ini, perbedaan tersebut tidaklah terlalu kentara.
 
Kenapa dua wilayah ini berbeda dalam melaksanakan perayaan Pagerwesi? Di Buleleng Timur, terutama Kota Singaraja, merayakan Pagerwesi secara besar-besaran, sampai memotong hewan piaraan untuk banten soda, punjung dan sejenisnya. Sementara umat di bagian barat merayakannya dengan sangat sederhana. Misalnya, hanya ngaturang canang sari atau canang raka.
 
Setelah dikaji dalam kelompok yang dipimpinnya itu, Simba mendapatkan jejak sejarah yang lumayan panjang. Menurutnya, selama ini Buleleng dikenal sebagai pintu masuknya budaya luar. Atau menjadi transit budaya dan rancang bangun budaya Bali.
 
Ajaran dan budaya yang datang dari berbagai kelompok ras sempat datang ke Buleleng, seperti Timur Tengah, Mesir dan Babilonia. Juga dari Asia seperti India, Tiongkok, Vietnam dan sekitarnya. Menurutnya, invasi ajaran dan budaya itu masuk ke Buleleng sejak awal abad Masehi. Khusus untuk penyebaran agama Hindu, Simba mengatakan, ajaran itu datang dari pedagang dan pengembang agama dari India.
 
Dalam ajaran Hindu ini, menurut Simba, Buleleng mewarisi dua tradisi yang berbeda karena terdapat dua dinasti yang masuk ke wilayah pantai utara Bali ini. Pertama, dinasti pendukung ajaran Siwa Pasupata dari Dinasti Sanjaya dan Sanaha di Jawa Tengah masuk melalui pedagang dan pengembang agama yang masuk di wilayah Buleleng bagian timur. Ajaran itu kemudian dikembangkan Rsi Agastia sehingga menyebar di Bali.
 
Sementara di Buleleng Barat kemungkinan masuknya Dinasti Warman dengan sekte Buda Mahayana. Ajaran ini ternyata bukan hanya berkembang di Buleleng Barat, namun juga melebar ke Bali Selatan. Dari Buleleng Barat ajaran ini meluas ke wilayah perbukitan sampai di Tamblingan, lalu ke Candi Kuning yang ditandai dengan adanya Pura Terate Mas dan lain-lainnya, lalu ke timur menuju Pucak Mangu, kemudian meluas ke Batur, dan ke timur lagi menuju sumber kebenaran hingga ke Besakih.
 
Simba menunjukkan bukti bahwa di Besakih memang menyebar Buda Mahayana dengan adanya upacara piodalan yang tepat pada purnama kadasa. Hari itu, menurutnya, adalah hari Waisak.
 
Beda Itu Kaya
Dengan adanya dua perbedaan ini mana yang harus dikembangkan dan mana yang harus dimatikan? Simba dengan tegas mengatakan kedua-keduanya tak boleh dimatikan. Menurutnya, biarkan saja dua cara merayakan hari agama tersebut berkembang sesuai zamannya. Sebab, perbedaan itu sebuah kekayaan. ''Bhineka adalah suatu khazanah kekayaan agama kita,'' katanya. Sebab, menurutnya, satu tradisi tak bisa dijadikan barometer kebenaran. Keyakinanlah yang menjadi barometer.
 
Hal senada disampaikan Klian Adat Buleleng Made Rimbawa, B.A. Menurutnya, perbedaan yang terjadi dalam pelaksanaan hari-hari raya agama jangan dianggap sebagai sebuah kekurangan di satu tempat dan kelebihan di tempat lain. Adat memang berbeda-beda sesuai desa mawacara dan desa kala patra. Karena perbedaan itula yang membikin adat dan budaya Bali ini jadi lebih kaya. ''Bahkan perbedaan ini juga membuat kita menjadi lebih kuat,'' tandasnya.
 
Seorang mahasiswi dari daerah Banyuasri, Buleleng, mengatakan dirinya sangat menikmati adanya perayaan Pagerwesi yang berbeda dengan daerah lain di Bali. Perempuan yang mengaku bernama Yesi dan sedang menempuh kuliah di sebuah perguruan tinggi di Denpasar ini rela untuk pulang kampung guna mengikuti prosesi upacara Pagerwesi di daerahnya. Pagerwesi di Buleleng, bagi Yesi, adalah hari raya yang unik. Sehari sebelum puncak hari raya, ia bersama keluarga melakukan kegiatan ngelawar, bikin sate dan kuah daging, yang kemudian dilanjutkan dengan sedikit pesta. Lalu tepat pada puncak hari raya, Yesi bersama keluarga mengaturkan punjung ke kuburan. ''Uniknya, bukan hanya kita yang berpesta pada hari raya, tetapi juga leluhur kita,'' katanya.
 
Namun, Yesi melihat perayaan Pagerwesi kali ini tidak semeriah hari raya sebelumnya. Kurang meriahnya perayaan kali ini mungkin disebabkan krisis ekonomi yang masih melanda mesyarakat Indonesia, termasuk juga di Buleleng. Jika dulu orang biasa membeli daging cukup banyak, kali ini cukup membeli sekadarnya di pasar. ''Namun begitu sebagian besar umat masih merayakan dengan semangat. Ini terlihat dari pasar yang selalu ramai menjelang Pagerwesi,'' katanya.