Sabtu, 29 Desember 2012

Tentang Uban oleh Puteri Fatia


 http://id.she.yahoo.com/-masih-muda-tapi-beruban--ini-sebabnya--093254595.html

Tentang Uban oleh Puteri Fatia
 
Uban atau rambut yang memutih tak selalu muncul pada mereka yang sudah berumur saja. Kadang, mereka yang masih di usia muda bahkan berusia remaja, juga memiliki uban.
Uban atau rambut yang memutih tak selalu muncul pada mereka yang sudah berumur saja. (Digital Vision/Ralf Nau)
Anda salah satunya? Kenali berbagai penyebabnya sebagai berikut.
Kurang asupan vitamin
Mungkin tanpa disadari, nutrisi yang Anda konsumsi setiap hari tidak seimbang. Sering jajan junk food atau makanan kaki lima, dan kurang seimbang dalam mengonsumsi sayuran dan buah adalah salah satu penyebab uban muncul lebih cepat.

Gaya hidup masyarakat jaman sekarang yang sering terlambat makan, tak mengindahkan nilai gizi makanan dan kurang memperhatikan kebersihan makanan, juga berkontribusi pada hal ini.

Kurangnya gizi dapat mengakibatkan tubuh kekurangan zat darah merah atau biasa dikenal dengan anemia. Anemia mengakibatkan tubuh tak bisa menyerap vitamin B secara maksimal. Dan tahukah Anda, kekurangan vitamin B dapat mengakibatkan gangguan pada pigmen di rambut.

Kelainan pada kelenjar tiroid
Menurut sebuah penelitian medis di Universitas Michigan, kelainan pada kelenjar tiroid mengakibatkan hormon di dalam tubuh tak seimbang. Hal tersebut kemudian menimbulkan gejala hipotiroid. Salah satu gejala hipotiroid adalah munculnya uban sebelum waktunya. Apabila Anda memiliki sejarah penyakit ini, mungkin saatnya untuk melakukan medical check up lagi.

Rambut kekurangan sebum
Ketika rambut kekurangan cairan sebum yang berfungsi melembapkannya secara alami, maka akan mengakibatkan rambut menjadi kering dan berubah warna menjadi putih. Kurangnya berbagai mineral seperti zat besi merupakan salah satu penyebab produksi sebum berkurang.

Menjalani gaya hidup tak sehat

Kebiasaan dan gaya hidup yang tak sehat seperti merokok, mengonsumsi alkohol akan mempercepat timbulnya uban. Sebuah penelitian di Amerika menemukan bahwa uban pada perokok tumbuh empat kali lebih cepat dari mereka yang tidak merokok. 



Keturunan

Yang satu ini tak bisa Anda tolak. Beberapa orang memiliki kelainan bawaan yang mengakibatkan sel-sel yang memproduksi zat melanin (pigmen rambut) berhenti. Akibatnya, uban timbul lebih cepat dari seharusnya.


Tip: Kekurangan sebum di rambut bisa diatasi dengan memilih shampo dengan kandungan minyak almond. Kandungan almond bisa membantu menjaga kelembapan alami rambut. Gunakan juga serum rambut yang mengandung ekstrak minyak almond, dan biji bunga matahari. Gunakan usai mencuci rambut dan tak perlu dibilas.

Jumat, 21 September 2012

Daniel Suchamda

  http://sastrodjendro.blogspot.com/

Daniel Suchamda

An Introduction to The Path of Dissolving of the Self into God Realization (Jumbuhing Kawulo Gusti)

Original in Bahasa wrote by Ki Wong Alus
Transliterated by Daniel Suchamda




Sajatine Ingsun Dat kang amurba amisesa,
kang kuwasa anitahake sawiji-wiji,
dadi padha sanalika,
sampurna saka ing kodrating-Sun,
ing kono wus kasunyatan Pratandhaning apngaling-Sun,
minangka bubukaning iradating-Sun,
kang dhingin Ingsun anitahake kayu,
aran sajaratul yakin,
tumuwuh ing sajroning ngalam
ngadam-makdum ajali abadi,
nuli cahya aran Nur Muhammad,
nuli kaca aran miratul kayai,
nuli nyawa aran roh ilapi,
nuli dammar aran kandil,
nuli sosotya aran darrah,
nuli dhinding jalal aran kijab,
kang minangka warananing kalarating-Sun


Actually I am the Primordial Existence of every Creation and Omniscience,
Who has the power to command every single phenomena,
In an instant,
Perfection is my nature,
It is an emptiness that is the sign of My appearance,
As if an unobstructiveness of My Divine-will,
Firstly I create Life which called Sajaratul Yakin (Tree of Life),
Grow in the realm of original eternity,
That Light is called Nur Muhammad (The Light of First Creation),
Then a mirror called Miratul Kayai (Shameful Mirror),
And then a soul called Idlafi (Individual Soul),
A Lamp called Kandil,
A Jewel called Dharrah,
And then an Adoring Wall called Hijab (Partition).
As a closure of My Will.

2
Ki Soedjonoredjo is the writer of a book called Wewadining Rasa said that it is a serious mistake to say that God doesn’t exist, stated in this statement, “
“Mbok menawa anasa wenehing manungso kang kliru ora percaya marang anane kang murbeng alam. Dadi ananing dhirine lan anane kang gumelar gumandhul karang kabeh, kaanggep gumandul marang suwung kang mangkono iku umpama kang anggep suwung marang warna rupaning kaca benggela, satemah kaca benggala dipadhakake karo kothongan kang pancen suwung babar pisan. Apa iku bener?”
If there is a man who make an error into not believing into the Divine Principle. So that his existence and every otherness that laid of and dependent upon everything, is supposed to be sustained by emptiness that’s why it is like the superimposed-emptiness upon a multicolorful [rays of] prism. If that prism to be likened as an absolute nihilism, is it true?
The existence of True Mirror or Wirangi-glass is [an allegory of] Wangwung (emptiness).  It is not surprising that if a lay person make a mistake to judge that that mirror doesn’t exist because of its ultimate clarity, seems like nothing. That mirror does exist. And a True Mirror is singular, but its expression is unlimited into its kinds and numbers.

A man whose their conceptual relationship between macrocosmos and microcosmos is still confused, is lend to say that the mirror doesn’t exist. Aforementioned, the essence of the mirror is singularity potential of divine harmonical vibrations. Everything that is  a single force, is also a single taste. Each single ray of forces are framed within single True Reality.


3

In the book Dewa Ruci (by Yasadipura) there is an essence teaching about the Shameful Mirror, as this : 

Badan njaba wujud kita iki, badan njero mungguwing jroing kaca, ananging dudu pangilon, pangilon jroning kalbu yeku wujud kita pribadi, cumithak jro panyipta, ngeremken pandudu, luwih gedhe barkahira, lamun janma wus gambuh ing badan batin, sasat srisa bathara
“Outer physical appearance of our body, as an internal body like to be sitting inside the mirror, but it is not a [physical] mirror, reflecting inside the kalbu (heart) as our real self, printed in the awareness, negate everything, [will be] bigger its blessing, event that a man has been abide in his mind-body, as Himself a God”.
4

This Dewa Ruci mythology is trying to tell the audience about The Origin of Everything (Sangkan Paraning Dumadi), also trying to convey the teaching of Unity with the Divine (Manunggaling Kawulo Gusti) until he can be differentiated which is called Dissolving into Divine Principle (Pamoring Kawulo Gusti , or Jumbuhing Kawulo Gusti). Those teaching of Sangkan Paraning Dumadi is also practiced as a guide in daily life. This is also mentioned in the book called Jati Murti which is a simpler teaching to be understood by lay people. The practicality of the teaching can be state in the statement of Prof.Ki Damardjati Supadjar :
"Ora perlu kabotan tresna marang daden-daden,
tresnaa marang sing dadi.
Nanging aja gething marang daden-daden,
sebab ing kono ana sing dadi. "

Not necessarily to be burdened or attached toward formation of things,
Just Be in love within suchness,
But don’t averse to the formational reality
Because in that relativity, there is a workable one.



9
As a representation of God in a mundane world, a man has been given every tools for him/her to directly communicate with God as The Most Authentic Teacher for human. In the book of Wirid Hidayat Jati (Rosary of True Life), is said that there are 7 structural-components of being a human :

1. Hayyu (Life) = called ATMA, outer to the DZAT
2. Nur (light) = called PRANAWA outer to the Hayyu
3. Sir (Rahsa) = called PRAMANA outer to the Nur
4. Roh (soul) = called Suksma,outer to the Rahsa
5. Nafs (passion) = outer to the soul
6. Akal (intellect) =outer to the passion
7. Jasad (body) = outer to the intellect


10
Note :
There is an interaction between those above:
• Suksma wahya = between physical body and breath
• Suksma dyatmika = between breath and intellect
• Suksma lana = between intellect and passion
• Suksma mulya = between sensation and the individual-soul
• Suksma sajati = between individual-soul and Rahsa (a sensation of pure awareness)
• Suksma wasesa = between Rahsa and the Light
• Suksma kawekas = between the Light and Primordial Life

Natalie Wolchover | LiveScience.com

Natalie Wolchover | LiveScience.com


http://id.berita.yahoo.com/akankah-ilmu-pengetahuan-mengesampingkan-keberadaan-tuhan.html

Selama beberapa abad terakhir, ilmu pengetahuan dapat dikatakan telah menjauhkan orang dari pemikiran tradisional tentang kepercayaan terhadap Tuhan secara bertahap. Hal-hal yang dulu tampak misterius, seperti keberadaan manusia, kesempurnaan kehidupan di bumi, cara kerja alam semesta, sekarang dapat dijelaskan oleh ilmu biologi, astronomi, fisika dan ilmu pengetahuan lainnya.

Meski masih banyak misteri alam semesta yang belum terungkap, Sean Carroll, seorang kosmolog teoritis dari California Institute of Technology, mengatakan bahwa ada alasan yang cukup baik untuk berpikir bahwa ilmu pengetahuan pada akhirnya akan mengungkap secara lengkap tentang alam semesta — yang juga akan menjelaskan keberadaan Tuhan.

Carroll berpendapat, teori keberadaan Tuhan telah berkurang drastis di zaman modern, seperti misalnya, fisika dan kosmologi telah berkembang dalam menjelaskan asal-usul dan evolusi alam semesta. "Ketika kita mempelajari lebih dalam tentang alam semesta, selalu ada rasa haus untuk lebih dalam menelitinya," katanya kepada Life’s Little Mysteries.

Ia berpendapat bahwa pengaruh supranatural pada akhirnya akan menyusut dan menghilang. Tapi dapatkah ilmu pengetahuan pada akhirnya menjelaskan semuanya?

Permulaan waktu
Sekumpulan bukti telah dikumpulkan untuk mendukung model kosmologi Big Bang, atau gagasan yang menjelaskan bahwa alam semesta mengembang dari keadaan panas, kemudian memadat hingga akhirnya ke kondisi seperti saat ini yang lebih dingin, lebih berkembang dan membesar selama 13,7 miliar tahun. Para kosmolog dapat membuat model tentang apa yang terjadi dari 10^-43 detik setelah Big Bang terjadi sampai sekarang, namun dalam sepersekian detik sebelum menjadi gelap.

Beberapa teolog telah mencoba untuk mengaitkan teori Big Bang dengan deskripsi penciptaan dunia yang dapat ditemukan dalam Alkitab dan teks-teks agama lainnya. Mereka berpendapat bahwa sesuatu (yaitu, Tuhan) pasti telah merencanakan peledakan alam semesta tersebut.

Namun, menurut Carroll, kemajuan dalam ilmu kosmologi akhirnya akan menghilangkan siapa pemicu teori Big Bang tersebut.

Seperti yang  ia jelaskan dalam sebuah artikel yang ditulis baru-baru ini yang berjudul “Blackwell Companion to Science and Christianity” (Wiley-Blackwell, 2012), bahwa tujuan utama dari ilmu fisika adalah untuk membuat teori yang menjelaskan tentang seluruh alam semesta, mulai dari skala sub-atomik hingga astronomik, dalam satu kerangka kerja.

Teori seperti itu disebut “gravitasi kuantum,” yang akan menjelaskan tentang apa yang terjadi pada saat Big Bang terjadi. Beberapa versi lain teori gravitasi kuantum yang telah dibuat oleh para ahli kosmologi lebih menjelaskan pada prediksi Big Bang, daripada penjelasan tentang permulaan waktu yang Carrol sebut sebagai “sebuah tahap transisi dalam keberadaan alam semesta yang kekal.”

Contohnya seperti, sebuah model yang dianalogikan seperti sebuah balon yang kembang kempis  di dalam uap. Jika, kenyataannya, waktu tidak punya permulaan, maka hal itu akan mengakhiri kitab Kejadian.

Versi lain teori gravitasi kuantum, saat ini sedang didalami oleh para ahli kosmologi yang memprediksi bahwa waktu memang dimulai dari kejadian Big Bang. Namun versi kejadian tersebut tidak melibatkan peran Tuhan. Mereka tidak hanya menggambarkan evolusi alam semesta sejak kejadian Big Bang, tetapi mereka juga menjelaskan bagaimana waktu bisa berlangsung di tempat yang paling awal.

Dengan demikian, teori-teori gravitasi kuantum masih perlu disempurnakan, untuk menjelaskan sejarah alam semesta. "Tidak ada fakta yang menjelaskan bahwa ada permulaan waktu, dengan kata lain, harus ada campur tangan dari faktor lain dalam penciptaan alam semesta pada saat itu," tulis Carroll.

Cara lain untuk menempatkan itu adalah dengan teori-teori fisika kontemporer, meskipun masih dalam pengembangan dan pengujian eksperimental di masa depan, yang akhirnya mampu menjelaskan mengapa Big Bang terjadi, tanpa perlu untuk melibatkan teori supranatural.

Seperti Alex Filippenko, astrofisikawan dari University of California, Berkeley, mengatakan dalam pidatonya di sebuah konferensi sebelumnya pada tahun ini, "Big Bang bisa saja terjadi sebagai akibat dari hukum fisika. Dengan hukum fisika, Anda bisa mengetahui alam semesta."

Alam semesta paralelNamun ada alasan lain yang berdasar tentang keberadaan Tuhan. Fisikawan telah mengamati bahwa banyak dari konstanta fisika yang menjelaskan tentang alam semesta kita, dari massa elektron hingga kepadatan energi gelap, yang sangat sempurna untuk mendukung kehidupan.

Mengubah salah satu konstanta sedikit saja, maka alam semesta tidak akan dipahami. "Misalnya, jika massa neutron yang sedikit lebih besar (dibandingkan dengan massa proton) dari nilai sebenarnya, hidrogen tidak akan melebur menjadi deuterium dan bintang konvensional tidak mungkin ada," kata Carroll. Dan dengan demikian, maka akan muncul kehidupan seperti yang kita kenal sekarang.

Para teolog sering mengembangkan atas apa yang disebut "fine tuning" dari konstanta fisika sebagai bukti bahwa Tuhan pasti punya andil di dalamnya, tampaknya ia memilih konstanta tersebut untuk kita. Namun fisika kontemporer menjelaskan bahwa supranatural punya caranya sendiri.

Beberapa versi teori gravitasi kuantum, termasuk teori string, memperkirakan bahwa kehidupan kita  di alam semesta ini hanyalah salah satu dari jumlah yang  tak terbatas dari alam semesta akhirnya membentuk banyak alam semesta. Di antara alam semesta yang tak terbatas itu, berbagai macam nilai dari semua konstanta fisika yang diwakili, dan hanya beberapa alam semesta yang memiliki nilai konstanta yang memungkinkan pembentukan bintang, planet dan kehidupan seperti yang kita kenal sekarang. Kita beruntung dapat hidup di salah satu alam semesta yang dapat ditinggali (karena di mana lagi?).

Beberapa teolog mengatakan bahwa akan jauh lebih sederhana untuk menyebut campur tangan Tuhan  daripada mencari tahu teori keberadaan alam semesta yang tak terhingga banyaknya untuk menjelaskan bagaimana alam semesta memberikan kehidupan bagi kita. Carroll mengatakan bahwa multiverse tidak didalilkan sebagai cara yang rumit untuk menjelaskan fine-tuning. Sebaliknya, hal tersebut berperan sebagai konsekuensi alami dari yang terbaik, teori yang paling elegan.

Sekali lagi, jika atau ketika teori  itu terbukti benar, "multiverse (multi alam semesta/multi universe) terjadi, tidak peduli apakah Anda suka atau tidak," tulisnya. Dan ada campur tangan Tuhan dalam segala sesuatu.

Alasan
Tuhan berperan sebagai alasan keberadaan alam semesta. Bahkan jika kosmolog berhasil menjelaskan bagaimana alam semesta terbentuk, dan mengapa tampak seperti dibuat untuk menyokong kehidupan, pertanyaan yang mungkin akan tersisa adalah mengapa ada sesuatu yang bertentangan dengan segala sesuatu.

Bagi kebanyakan orang, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah Tuhan. Menurut Carroll, jawaban itu  berarti jika di bawah pengawasan. Tidak akan ada jawaban untuk pertanyaan seperti itu, katanya.

"Kebanyakan ilmuwan ... menduga bahwa pencarian penjelasan yang tepat akhirnya akan berakhir dengan teori berakhirnya dunia, bersama dengan frase 'memang seperti itu,'" tulis Carroll. Orang yang tidak puas cenderung gagal untuk menemukan bahwa seluruh alam semesta merupakan sesuatu yang unik — "sesuatu yang yang berbeda dari biasanya."

Sebuah teori ilmiah lengkap yang bertanggung jawab atas segala sesuatu di alam semesta yang tidak perlu penjelasan eksternal dengan cara yang sama, bahwa segala sesuatu yang spesifik dalam alam semesta memerlukan penjelasan eksternal. Bahkan, Carroll berpendapat, penjelasan yang menutup penjelasan lainnya  (contohnya Tuhan) pada sebuah teori mandiri dari segala sesuatu yang hanya akan menjadi komplikasi yang tidak perlu. (Teori tersebut sudah bekerja tanpa Tuhan.)

Dinilai berdasarkan standar dari setiap teori ilmiah lainnya, "hipotesis Tuhan" tidak bekerja dengan sangat baik, Carroll berpendapat. Namun ia memberikan gagasan bahwa "teori  tentang Tuhan memiliki fungsi lain dibandingkan suatu hipotesis ilmiah."

Penelitian psikologi menunjukkan bahwa kepercayaan dalam supranatural, berperan sebagai perekat sosial dan memotivasi orang untuk mengikuti aturan. Lebih lanjut, kepercayaan akan akhirat membantu manusia untuk berduka dan mencegah orang dari ketakutan akan kematian.

"Kita tidak dirancang pada tingkat teori fisika," kata Daniel Kruger, seorang psikolog evolusi di University of Michigan, yang mengatakan kepada LiveScience tahun lalu. Apa yang penting bagi kebanyakan orang "adalah apa yang terjadi pada skala manusia, hubungan dengan orang lain, hal-hal yang kita alami dalam hidup kita."

Kamis, 05 Juli 2012

Adi Pranata: Panasnya "Perang" Ormas di Pulau Dewata

petualang dan pembela kebenaran yang kebetulan lewat




 http://hukum.kompasiana.com/2012/07/05/panasnya-perang-ormas-di-pulau-dewata/

Panasnya “Perang” Ormas di Pulau Dewata

HL | 05 July 2012 | 09:28 Dibaca: 523   Komentar: 7   Nihil

1341471765876291215
Ilustrasi/ Admin (shutterstock.com)
Bali adalah pulau yang begitu indah, masyarakatnya penuh dengan keramahan yang sudah terkenal seantero dunia.  Bahkan pulau kecil ini lebih dikenal dibandingkan Republik Indonesia. Orang eropa selalu bertanya Indonesia itu dimananya Bali? Padahal bali adalah bagian dari Indonesia. Pulau indah ini memang membuat para penikmatnya ingin selalu menikmatinya kembali.  Keramahan keluarga-keluarga di Bali membuat masyarakat pulau dewata ini dikenal sebagai masyarakat teramah.
Namun dalam perkembangannya ada beberapa sisi lain di pulau seribu pura ini.  Dalam perjalanan ke utara banyak sekali terlihat Baliho-baliho yang menunjukan identitas ormas-ormas kepemudaan di Bali. Dari sekedar mengucapkan selamat hari raya ataupun hanya sekedar memperlihatkan logo-logo mereka.  Hampir di setiap wilayah. Diantara mereka, Laskar Bali tampak menjadi kelompok yang paling mendominasi. Baliho banyak menampilkan sosok pemimpin-pemimpinnya yang rata-rata merupakan pria gempal dengan wajah sangar.
Inilah, konon, para penjaga Bali dari segala ancaman luar. Merekalah, konon, para penjaga ajeg Bali. Seperti banyak ormas-ormas kedaerahan lain, mereka berkumpul dengan pernyataan misi nan mulia, menjaga ‘kemurnian’ tanah kelahirannya dari pengaruh luar yang menggerus. Andai memang begitulah adanya seperti visi dan misi mereka maka akan sangatlah aman pulau dewata ini.
Namun kenyataanya memberikan gambar yang suram. Laskar Bali tergambarkan sebagai kumpulan preman dengan afiliasi yang kuat dan cengkeraman yang kukuh di sisi gelap pulau dewata. Kelompok yang disinyalir terlibat dalam jaringan prostitusi, obat terlarang, termasuk perang antar gang di Bali. Kelompok yang mendominasi ‘penjagaan’ keamanan di klub-klub malam Bali. Artikel-artikel di The Sidney Morning Herald beberapa kali menyebut Laskar Bali sebagai “one of the most notorious gangs in Bali”. Majalah Tempo memberi judul “Puputan Preman Pulau Dewata’ dalam artikel yang menggambarkan perseteruan antar kelompok pemuda di Bali. Dan serangkaian pemberitaan negatif lainnya. Diantara Bali yang semakin hiruk pikuk.
Selain Laskar Bali ada beberapa ormas kepemudaan lain yang mendominasi. Seperti Baladika yang saat ini sering sekali anggotanya betrok dengan Laskar Bali. Jika dilihat dominasi anggota, maka Laskar Bali dan Baladika merupak 2 ormas dengan jumlah anggota terbanyak saat ini. Sisa nya ada Ormas Pemuda Bali Bersatu,dan Forum Peduli Bali yang anehnya semua ormas ini diresmikan oleh pejabat-pejabat daerah penting di bali.
Laskar bali dengan ketuanya gung alit, terkenal dekat dengan pejabat-pejabat militer, sperti yang ditulis oleh penelitian Wayan Suryawan, dosen antropologi Universitas Udayana, yang dimuat situs sekitarkita.com. Menurut dia, setelah perkelahian di Denpasar Moon Karaoke, 30 November 2003, yang menewaskan seorang polisi, Gung Alit sempat ditahan sebagai tersangka. Lucunya, para tersangka dijenguk oleh petinggi militer di sana. “Sangat ramai dan penuh canda tawa,” kata Wayan.
Begitu juga Baladika, yang anggotanya di dominasi oleh anak-anak muda ini merupakan kelompok yang sangat dekat dengan kalangan DPRD, dan pejabat pemerintahan daerah. Hal ini bisa dimaklumi karena para pejabat-pejabat itu ingin tetap memiliki dukungan kuat dan bisa digunakan sebagai senjata melibas musuh-musuhnya.
Kekuatan ormas-ormas ini memang semakin mencekram Bali, banyak anggota Ormas-ormas ini terkadang bersikap arogan, dengan menjadi preman bayaran yang meresahkan masyarakat bali.
Ormas yang bermunculan di Bali tentu bukan tanpa sebab, bali yang berubah menjadi destinasi pariwisata membuat banyak sekali tempat-tempat hiburan, tentu saja pusatnya di Kuta, daerah hiburan malam di Pulau dewata. Kuta bagaikan gadis cantik bagi para pencari nafkah di pulau ini, banyak jasa yang dapat diberikan untuk menghasilkan dolar di tempat  itu. Termasuk jasa keamanan yang kemudian di organisasi oleh Ormas-ormas ini. Ini mengapa Ormas-ormas di Bali semakin menjamur, mendirikan ormas bagaikan mendirikan perusahaan jasa yang menjanjikan, bahkan bisa menjadi kendaraan politik suatu saat nanti. Akhir-akhir ini pun muncul kelompok karangasem yang anggotanya tentu saja dari darerah karangasem. Kelompok-kelompok ini mulai menguasai beberapa tempat hiburan di kuta. Semakin berkembang hal-hal ini jika tidak terkontrol ditakutkan bisa membuat perpecahan di masyarakat, perkembangan kedepan ditakutkan ormas-ormas ini berubah menjadi gangster seperti mafia-mafia yang lama kelamaan akan susah diatur seperti halnya mexsiko.
Impian masyarakat bali terhadap ormas-ormas ini bisa dirangkum dari beberapa hasil diskusi yang penulis lakukan dengan beberapa kalangan :
Masyarakat bali memimpikan Ormas-ormas itu bisa menjadi pengayom dan benteng ajeg Bali. ingin rasanya masyarakat melihat Laskar Bali, Baladika, Kelompok Karangasem, Pemuda Bali Besatu, Forum Peduli Bali, Banzer, Satria Muda Majapahit, dan Garda Buleleng menjadi ormas yang santun. Tampang boleh sangar tapi sikap santun, itu lah cirri masyarakat Bali.
Ormas-ormas ini diharapkan bisa merubah diri, dengan menjadi ormas yang berdasar kepada kepentingan masyarakat bukannya kepada kepentingan beberapa kelompok penguasa saja. Tentu saja hal ini harus dilakukan tegas oleh para pentolan ormas tersebut. Harus ada struktur organisasi yang kuat dengan AD/ART yang demokrasi. Jika dilihat saat ini ormas-ormas itu saat ini bersifat sangat tradisional, lihat saja ketua ormas-ormas itu semua 4L (Lo Lagi Lo Lagi) tanpa ada kaderisasi. Hal ini tentu saja akan membuat sikap otoriter.
Ormas-ormas di Bali harusnya bersatu, bukan saling menghancurkan, Ormas di Bali jangan hanya mengunakan logo kedewaan namun sikap seperti preman. Harusnya ormas di Bali bisa mengambil sikap dari ajaran agama hindu yang penuh dengan kedamaian.
Ormas di Bali harus menjadi benteng dari hal-hal negative, seperti premanisme, Narkoba dan sikap kekerasan  lainya. Bukanya malah melindunginya seperti yang terjadi saat ini.
Semoga bali tetap menjadi pulau dengan sejuta kedamaian, dengan senyuman keluarga-keluarga yang saling menyanyagi.
NB :
Penulis ingin mengaris bawahi, walaupun beberapa Ormas di Bali semakin meresahkan namun sampai saat ini bali adalah tempat yang sangat aman. Ormas-ormas diatas juga punya sikap di sisi lain yang ingin melindugi Bali. kekerasan selama ini terjadi kebanyakan kasusnya antara ormas dengan ormas lainya. Namun tidak sama seperti halnya preman jakarta, preman yang terorganisasi oleh ormas melakukan pemalakan dan pemerasan. Namun tentu saja jika tidak dari sekarang mulai dirubah, bukan tidak mungkin akan menjadi seperti itu juga ormas-ormas di Bali.
 
Siapa yang menilai tulisan ini?
KOMENTAR BERDASARKAN :

5 July 2012 09:48:16

anggota ormas yg msh abg dan msh ababil sukanya maen serbu n maen keroyok

5 July 2012 10:04:08

betul sekali, biasanya mereka suka bawa2 atribut ormas tertentu, biar ditakutin gitu…
seharusnya petinggi2 ormas2 ini harus bisa mengotrol anggotanya ini, dengan menindak tegas. karena yang tercoreng adalah ormas itu sendiri.
Adi Pranata

5 July 2012 10:19:55

Salam kenal ya, nice posting mas…Bali itu pulau kenangan saya dengan suami. Sayang sekali kalau lama lama tak aman..

5 July 2012 10:52:52

bali samapai sekarang masih yang terbaik ok, masih aman. hanya saja kalau dibiarkan terus menerus bisa2 bali menjadi jakarta ke dua, mudah2an kita bisa menjaganya besama-sama
Adi Pranata

5 July 2012 14:35:47

,Bali adalah bagian dari ladang mata pencaharian saya, kompetisi hidup yg semakin ketat..tak hanya warga indonesia tapi orang asing, heterogenity warga khususnya denpasar dan badung,masyarakat makin. merapatkan kpd komunitas2 yg berbasis Ras agama, atos sosial..tapi yg saat ini masih kuat membentengi bali dari hal2 negatif, adalah sistem banjar.. meski bali terasa ga nyaman tapi tetap paling aman

5 July 2012 15:46:53

Iya melihat Baliho-baliho itu, Bali jadi seperti Medan….

5 July 2012 17:42:27

sehebat-hebatnya, segarang-garangnya ormas di bali….mereka tiada dapat berkutik alias tunduk pada PECALANG (masyarakat yg mengurusi adat) & JAGABAYA (masyarakat penjaga keamanan banjar).
Namun, ormas di bali jauh lebih berbudaya&bermartabat daripada kebanyakan ormas diluar bali. Ormas/anggota ormas di bali cendrung sebagai tenaga pengamanan di cafe/bar/resto dll., dengan kata lain sebagian besar anggotanya bekerja & berpenghasilan.
ada baiknya pimpinan ormas2 jakarta/medan dll mengadakan studi banding dan belajar pd ormas2 di bali.
salam,
semoga pimpinan ormas2 dpt mengayomi anggotanya

Scientology dari Agil Abd Batati


http://unik.kompasiana.com/2012/07/05/konflik-selebriti-penganut-agama-church-of-scientology-tom-cruise-vs-katie-holmes/

Ragile (agil)

Jadikan Teman | Kirim Pesan
*Tidak penting SIAPA yg menulis, yg penting APA yg ditulis*Jadilah cahaya kebenaran walaupun kelap-kelip*... Lahir 1960. Senang baca, nulis, humor, diskusi, catur, bola, badminton, film, musik, makan enak, bicara blak2an, cinta orang jujur&berilmu. Pernah di Fak Sastra & Bahasa Inggris. Punya alias Engkong Ragile dan Kopral Kenthir. Nama asli: Agil, Facebook: Agil Abd Batati, Alamat: Jakarta/Tegal* Silakan kirim link saya sambut baik lho*

Konflik Selebriti Penganut Agama Church of Scientology: Tom Cruise Vs Katie Holmes

HL | 05 July 2012 | 00:15 Dibaca: 2506   Komentar: 56   13 dari 22 Kompasianer menilai aktual
Church of Scientology
Church of Scientology (doc:tmz.com)
Kedengarannya aneh koq selebriti Hollywood cerai akibat beda agama. Kali ini nyata. Agama Gereja Saintologi kembali digugat keberadaannya sebagai penyebab kehancuran. Kembali digugat melalui Tom Cruise (49), kali ini terkait gugatan cerai oleh Katie Holmes (33). Sang istri mengatakan bahwa tujuan utama minta cerai adalah sudah tidak tahan dengan Saintologi. Dan demi menjauhkan anaknya, Suri, agar tidak menjadi penganut agama Gereja Saintologi (Church of Scientology). Dua selebriti Hollywood itu pun nampaknya sudah patah arang akibat gencatan agama.
Hollywood gempar sejak 28 Juni 2012 ketika Katie Holmes menggugat cerai Tom Cruise.
Bukan gempar karena kasus kawin-cerai ala artis, tapi gempar karena embel-embel gangguan “agama saintologi”. Bukan rahasi lagi Tom Cruise dan John Travolta, sebagai contoh, adalah dua  produk unggulan saintologi. Sebuah agama ciptaan novelis fiksi-ilmiah Ron L Hubbard sejak 1952. Namun banyak pemuka Kristen gemas soalnya meskipun mencomot nama gereja dan lambang salib tapi sama sekali tidak terkait iman Jesus dan kitab Injil.
Daya tarik saintologi menurut penganutnya adalah kemampuannya menjadikan manusia lahir kembali; menjadi individu baru yang unggul dan berjaya di dunia selebriti. Hubbard menegaskan bahwa saintologi sangat cocok buat selebriti yang ingin merdeka jiwanya dari ajaran apapun. Saintologi mengisi jiwa dengan metode ilmu pasti dan teknologi. Untuk itu harus ikut kursus dan bayar mahal. Minimal $500.
Tom Cruise, Katie Holmes, Suri (dok:mirror.co.uk)
Tom Cruise, Katie Holmes, Suri (dok:mirror.co.uk)
Namun sayang-disayang, sebagai tokoh papan atas saintologi Tom Cruise gagal menyelamatkan rumah tangga. Padahal  pernikahan dengan Katie Holmes adalah rumah tangga yang ketiga kalinya. Nikah sejak 2006 dan dikarunia satu anak terpaksa bergelut  menyelesaikan proses cerai. Konon tidak mudah karena  terikat perjanjian perjanjian pra nikah. Lebih tidak mudah karena rebutan anak perempuan usia 6 tahun yaitu Suri. Menurut beberapa sumber anak usia 6 tahun adalah awal pengenalan menjadi penganut saintologi. Namun sang ibu tidak rela anak ikut agama ayah yang dinilainya berbahaya.
Sebagai penganut katolik, Katie Holmes merasakan prilaku ganjil pada diri suami.
Konon suami sangat kolot membuatnya mati kutu sebagai artis. Bukan hanya itu, organisasi saintologi digambarkan seketat militer dalam mengawasi umatnya. Dalam hal ini bukan tidak mungkin bahwa Katie tidak menemukan wujud tuhan pada saintologi sebagaimana tuhan yang dikenal oleh agama pada umumnya. Di negeri Barat sudah lumrah dikatakan bahwa saintologi adalah “cult” atau kultus individu menyembah benda, bukan menyembah tuhan.
Adalah tidak mudah memahai konsep ketuhanan atau spiritualitas saintologi yang didirikan oleh Ron L Hubbard, bukan hanya tanpa nabi dan tanpa kitab suci, juga tanpa tuhan yang maha esa. Ditambah lagi kesan misterius di mana seakan hanya merekrut para selebriti/artis dan hebatnya luar biasa kaya organisasai saintologi. Orang luar hanya mampu menduga bahwa kekayaan saintologi semata dari iuran anggota dalam jumlah besar dan ajeg. Kebetulan Hubbard mengakui bahwa agama saintologi sangat cocok buat kaum selebriti.
Dapat dibanyangkan betapa kayanya saintologi bila benar bahwa anggotanya meliputi 15 juta di seluruh dunia. Organisasi saintologi sama saja mewujud ATM raksasa yang diisi terus simpanan uangnya oleh 15 juta orang kaya yang menjadi penganut secara diam-diam. Sejauh ini kebanyakan penganut saintologi tutup mulut tentang keimanannya.
Namun uang bukan segalanya. Katie Holmes,  merasa dirinya perempuan mandiri dan mampu meraih banyak uang sebagai artis, bertekad lari dari ikatan saintologi. Yang berarti cerai dengan suami dan menuntuk hak asuh anak secara tunggal di Pengadilan New York, di mana mereka tinggal dalam 2 tahun terakhir.
Sayangnya  Tom Cruise bukan orang sembarangan. Dia adalah aktor termahal di Hollywood, harta melimpah, berkuasa di saintologi, dan mampu membayar berapapun untuk memenuhi hasratnya. Belum termasuk dukungan member church of scientology yang konon amat fanatik dan militan bak militer betulan.
Beruntung bahwa angin dukungan publik berhembus kencang mengayomi Katie Holmes. Setidaknya pada pekan pertama ini media dan publik pada umumnya berada di belakang sang istri. Tapi tidak ada jaminan nasib ke depan. Kekuatan finansial saintologi dan kaum selebriti di belakang saintologi bisa jadi membalikkan keadaan.
Belajar dari perceraian Tom Cruise dengan istri terdahulu yaitu Nicole Kidman, Katie akan all out berjuang agar Suri dalam asuhannya. Dia tidak ingin senasib dengan Nicole yang kehilangan hak asuh dua anaknya, Isabella dan Connor, yang jatuh ke tangan Tom dan menjadi penganut saintologi. Untuk itu dia mengajukan gugat cerai di Pengadilan New York yang mengijinkan hak asuk sendiri. Sedangkankan Tom menjawabnya melalui Pengadilan California yang memungkinkan hak asuk bareng-bareng agar Suri tidak lepas. Tom bertekad membawa Suri ke dalam saintologi.
Di media masa juru bicara saintologi biasanya dikutip begini, “Anyone can come into a Scientology church and train on workable solutions for anything from how to repair a broken relationship, how to communicate with others, how to build happy relationships, handling of drug problems, raising children, how to organise and be more efficient at work and many others.”
Katie merasakan gelagat perjuangan amat berat. Belum apa-apa dia dikuntit oleh dua mobil dan sepeda motor yang bergantian memantau gerak-geriknya di Apartemen New York, sejak mengumumkan gugat cerai. Namun berita yang dilansir TMZ.com dibantah oleh Gary Sote mewakili saintologi bahwa mereka tidak mengirim laskar pengintai. Sejauh ini pihak Katie melalui juru bicara Jonathan Wolfe mengatakan bahwa ini masalah pribadi keluarga, khususnya demi masa depan Suri. Begitu pula juru bicara Tom juga menghendaki agar privasi mereka dihormati oleh media masa. Tentu mereka lebih suka bicara tentang film Top Gun atau Mission Impossible yang dibintangi Tom Cruise. Atau film Dawson’s Creek yang dibintangi Katie Holmes.
Bagaimana menurut pembela Scientology…?
Kolumnis Haley Rose menulis ulasan singkat, sebut saja komentar . Dengan cerdiknya menjelaskan duduk perkara Scientology, di situs Salon.com dengan judul “Tom Cruise and Katie Holmes split, Is Scientology to blame?” Di sini dia berhasil mendudukan misteri scientology dalam bahasa yang mudah dicerna. Bahwa Ron L Hubbard mulanya membangun Church of Scientology sejak 1952 bukan untuk menjadi agama/gereja. Bahwa Hubbard membangun teori Dianetik untuk membersihkan jiwa manusia dari pengalaman buruk dan luka hati. Bahwa hasil dari audit dianektika menghasilkan individu yang “clear” atau bersih. Dan bahwa hanya individu yang bersih yang mampu mengendalikan jiwa dan bertindak rasional. Hidup Sukses di depan mata.
Kemudian Haley Rose menjelaskan bahwa dianetik kurang berhasil. Kemudian Hubbard membangun teori baru yaitu Sains Bertahan Hidup. Hubbard meyakini bahwa dalam diri manusia terdapat jiwa thetan, semacam titisan zat tuhan. Namun perlu dibersihkan melalui audit dan pelatihan berbayar oleh staf Saintologi. Hasil akhirnya adalah jiwa yang telah “Clear Thetan Clear”. Prosesnya melalui 8 tingkatan. Siapapun yang telah lulus dijamin meraih pencapaian menakjubkan.
Kemudian karena kursus pelatihan memakan banyak biaya kemudian Saintologi membentuk diri menjadi agama guna menyambut sumbangan keuangan abadi dari anggota.
Haley Rose bukan asal bicara, dia nampak memahami seluk beluk saintologi. Di akhir ulasan dia   mengutip pernyataan Hubbard pada konvensi para penulis di tahun 1948 yang berbunyi, “Bila orang hendak mencetak uang jutaan dollar, jalan terbaik mestinya dimulai dengan agamanya sendiri.” Tanpa penjelasan lebih lanjut apakah agama yang dimaksud adalah agama ciptaan sendiri. Dengan ulasannya, komentarnya itu, Haley Rose menolak adanya kaitan antara perceraian Tom Cruise - Katie Holmes dengan Saintologi. Dia hanya mengkririk kenapa koq orang mau-maunya kasih sumbangan besar kepada saintologi.
Namun beda kata komentator beda pula kata pelaku. Katie Holmes kekeh bahwa gugatan cerainya akibat tidak tahan saintologi dan hendak menjauhkan Suri, anaknya, agar tidak menjadi penganut Saintologi. Gaung pun bersambut. Raja media dunia, Rupert Murdoch, bahkan menempelkan cap “jahat” kepada jidat agama saintologi. Ini dia isyarat dukungan penuh kepada Katie Holmes. Ini dia bukan sembarang dukungan. Yang bicara adalah pemilik ratusan media masa berpengaruh di Amerika dan Eropa. Bahkan sering disebut-sebut sebagai pengatur terpilihnya anggota parlemen dan senator serta pemimpin negara.
Akhirnya…..

Apapun yang terjadi di kemudian hari, kasus gugat cerai pasangan “TomKat” ini sungguh aneh tapi nyata. Sungguh Aneh, Selebriti Amerika cerai gara-gara agama. Sungguh Menarik untuk dicermati kelanjutnya. Dan sungguh menarik untuk mencari jawaban: Benarkah cerai demi menyelamatkan agama anak, ataukah sekedar mendayagunakan sentimen agama untuk merebut dukungan publik? Maklum, namanya juga artis yang bicara!
:::
:::
:::
*) sumber rujukan:
mirror.co.uk: Tom Cruise and Katie Holmes split
xenu.net: Frequent Questions About Church of Scientology
Eonline.com: Church of Scientology: No Truth to report we’re tailing Katie Holmes
tellegraph.co.uk: Tom Cruise and Katie Holmes to divorce
Dailymail.co.uk: Just the two of us: Suri tenderly strokes her mother’s cheek…
Dailymail.co.uk: Rupert Murdoch brands Scientology “creepy evil”

Radaronline.com: Tom Cruise will never let Suri away from Scientology
*) Terkait:

Kompasiana.com: Inilah Agama Selebriti Top: Church of Scientology

Kamis, 12 April 2012

Fungsionalisme dan fungsionalisme struktural, Perspektif Interaksionalisme Simbolik dari Mayun Mudita dari

Perspektif Interaksionalisme Simbolik
Kampus stikom-bali.co.id

http://manyul83.blogspot.com/

Titik tolak pemikiran interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas sosial sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada didalamnya. Pada hakikatnya tiap manusia bukanlah “barang jadi” melainkan barang yang “akan jadi” karena itu teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai “diri” (self) yang tumbuh berdasarkan suatu “negosiasi” makna dengan orang lain. Menurut George Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Mead menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba memahami apa yang diharapkan orang itu (Mulyana, 2007).
Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Keunikan konsep diri pada setiap individu pun relatif berbeda-beda karena antara individu satu dengan individu lainnnya mempunyai pola pikir yang berbeda.Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri yang dimiliki individu dapat diketahui melalui informasi, pendapat dan penilaian atau evaluasi dari orang lain. Diri juga terdiri menjadi dua bagian yaitu diri obyek yang mengalami kepuasan atau kurang mengalami kepuasan dan diri yang bertindak dalam melayani diri obyek yang berupaya memberinya kepuasan.
Menurut Mead, tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah berkembang. Sementara disisi lain bersama refleksivitasnya, diri adalah sesuatu yang mendasar bagi perkembangan pikiran. Tentu saja mustahil memisahkan pikiran dari diri, karena diri adalah proses mental. Namun, meskipun kita bisa saja menganggapnya sebagai proses mental, diri adalah proses sosial. Mekanisme umum perkembangan diri adalah refleksivitas atau kemampuan untuk meletakkan diri kita secara bawah sadar ditempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana orang lain menelaah dia (Ritzer, 2004).
Dengan menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain, maka dimungkinkan terjadi interaksi, semakin mampu seseorang mengambil alih atau menerjemahkan perasaan-perasaan sosial semakin terbentuk identitas atau kediriannya. Ada tiga premis yang dibangun dalam interaksi simbolik yaitu;
1. manusia bertindak berdasarkan makna-makna,
2. makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain, dan
3. makna tersebut berkembang dan disempurnakan ketika interaksi tersebut berlangsung (Mulyana, 2001).
Teori interaksi simbolik melihat individu sebagai pelaku aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Teori interaksi simbolik fokus pada soal diri sendiri dengan segala atribut luarnya. Deddy Mulyana mengutip istilah yang digunakan Cooley yaitu looking glass self (Mulyana, 2001). Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga komponen.
1. individu mengembangkan bagaimana dia tampil bagi orang lain;
2. individu membayangkan bagaimana peniliaian mereka atas penampilan individu tersebut;
3. individu mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut.
Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya. Littlejohn menyatakan bahwa interaksi simbolik mengandung inti dasar premis tentang komunikasi dan masyarakat (Littlejohn, 1996).
Setiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri. Diri tidak terkungkung melainkan bersifat sosial. Orang lain adalah refleksi untuk melihat diri sendiri. Dari penjelasan ini berarti bahwa teori interaksi simbolik merupakan perspektif yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri sekaligus diri sosial.
Bagi Mead, “diri” lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. “Diri” juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) dimana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. “Diri” disini bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variabel-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan “diri.”
Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.”
Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school). Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh Blumer.
Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu:
1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.
2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.
3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.
4. Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.
5. Pikiran terdiri dari percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.
6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.
7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti.

Perspektif Konflik

Tidak ada seorang sosiolog pun yang menyangkal bahwa perspektif konflik dalam kajian sosiologi bersumber pada ide-ide yang dilontarkan oleh Karl Mark seputar masalah perjuangan kelas. Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus diantara kelompok dan kelas, atau dengan kata lain konflik dan pertentangan dipandang sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial sehingga struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.
Salah satu pertanyaan menarik yang terlontar sebagai konsekuensi dari penempatan konflik sebagai determinan utama dalam kehidupan sosial adalah masalah kohesi sosial. Kalangan teoritisi konflik setidaknya memandang dua hal yang menjadi faktor penentu munculnya kohesi sosial ditengah-tengah konflik yang terjadi, yaitu melalui kekuasaan dan pergantian aliansi. Hanya melalui kekuasaanlah kelompok yang dominan dapat memaksakan kepentingannya pada kelompok lain sekaligus memaksa kelompok lain untuk mematuhi kehendak kelompok dominan. Kepatuhan inilah yang pada akhirnya memunculkan kohesi sosial. Adapun pergantian aliansi disini berarti berafiliasi pada beberapa kelompok untuk maksud-maksud yang berbeda. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat suatu isu spesifik seringkali mampu menyatukan kelompok yang sebenarnya memiliki berbagai macam perbedaan.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, kalangan teoritisi konflik memandang agama sebagai ekspresi penderitaan, penindasan, dan rasionalisasi serta pembenaran terhadap tatanan sosial yang ada. Oleh karena itu, dalam perspektif konflik agama dilihat sebagai “kesadaran yang palsu”, karena hanya berkenaan dengan hal-hal yang sepele dan semu atau hal-hal yang tidak ada seperti sungguh-sungguh mencerminkan kepentingan ekonomi kelas sosial yang berkuasa. Dalam pandangan Marx, agama tidak hanya membenarkan ketidakadilan tetapi juga mengilustrasikan kenyataan bahwa manusia dapat menciptakan institusi-institusi sosial, dapat didominasi oleh ciptaan mereka dan pada akhirnya percaya bahwa dominasi adalah sesuatu yang sah. Jadi, dalam perspektif konflik agama lebih dilihat dalam hubungannya dengan upaya untuk melanggengkan status quo, meskipun pada tahap selanjutnya tidak sedikit kalangan yang menganut perspektif ini justru menjadikan agama sebagai basis perjuangan untuk melawan status quo sebagaimana perjuangan bangsa Amerika Latin melalui teologi liberal mereka yang populer.

fungsionalisme dan fungsionalisme struktural

http://manyul83.blogspot.com/

Perspektif fungsionalisme mengandaikan bahwa kehidupan sosio-budaya itu seperti tubuh makhluk hidup. Penganut aliran fungsionalisme ini percaya, bahwa analogi biologi (organisme) dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan sosio-budaya masyarakat (Kaplan, 1999: 77). Individu-individu maupun kebudayaan sebagai bagian dari masyarakat kemudian disejajarkan dengan sel-sel yang ada dalam tubuh makhluk hidup, yang selalu tergantung dan tidak terpisahkan dari fungsi-fungsi sel-sel lainnya. Layaknya tubuh makhluk hidup, kelangsungan kehidupan sosio-budaya dapat dipertahankan apabila individu-individu yang ada didalamnya saling bergantung dan berfungsi dengan individu-individu lainnya. Itulah sebabnya, perspektif ini memandang kehidupan sosio-budaya sebagai sesuatu yang harus selalu ada dalam keteraturan agar dapat bertahan hidup. Implikasinya, segala bentuk tindakan dan gejala yang dinilai mengancam keteraturan akan dianggap sebagai gangguan atau penyakit yang harus disembuhkan. Tugas individu-individu adalah menjaga agar fungsi-fungsi mereka di dalam masyarakat dapat berjalan secara teratur sebagaimana harusnya. Dengan mengandaikan kehidupan sosial layaknya tubuh makhluk hidup, maka perspektif ini melihat gerakan sosio-budaya sebagai gejala terjadinya krisis di dalam masyarakat.
Sementara itu, B. Malinowski dalam teori fungsionalismenya mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supernatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, “Powerful Other.” Partisipan yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanjuran agama sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan karena pada dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.
Dengan demikian, teori fungsional melihat setiap ritual dalam agama memiliki signifikansi teologis, baik dari dimensi psikologis maupun sosial. Aspek-aspek teologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa ditarik benang merahnya dari simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah. Pemaknaan terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan hingga sebuah ritual bisa ditujukan untuk “memuaskan” Tuhan atau kebutuhan spiritualnya sendiri.
Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual juga merupakan manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai “alat memperkuat solidaritas sosial” melalui performa dan pengabdian. Tradisi slametan merupakan contoh paling konkret dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrium), yakni menciptakan situasi rukun -setidaknya- di kalangan para partisipan. Kalangan fungsionalis yang mengakui asumsi ini adalah Clifford Geertz, James Peacock, Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, dan masih banyak lagi. Pendek kata, teori fungsional melihat fungsi ritual (agama) dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks spiritual maupun esksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban terhadap pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan. Jawaban tersebut tentu saja muncul karena manusia membutuhkannya sebagai perangkat untuk mendapatkan berkah suci dari Tuhan.
Mengenai paradigma fungsionalisme struktural, para ahli telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini dengan menuangkan berbagai ide dan gagasannya mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer (1980), Margaret M.Poloma (1987), dan Turner (1986). Drs. Soetomo (1995) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut teori fungsional struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini (fungsional- structural) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.
Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “patologis“. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan sosial. Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, (ia) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini (fungsional-struktural) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis (www.google.com).
Dari penjelasan masing-masing paradigma tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya sama-sama perspektif yang mengkaji tentang fungsi fenomena budaya tertentu. Adapun perbedaan kedua paradigma itu terletak pada analisisnya. Analisis dalam paradigma fungsional lebih sederhana daripada paradigma fungsionali-struktural. Jika fenomena budaya dikaji dengan paradigma fungsional dan telah ditemukan fungsinya dalam masyarakat, itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Berbeda dengan analisis dalam paradigma fungsional-struktural, paradigma ini lebih menekankan pada relasi fungsi. Artinya, dalam analisis ini peneliti harus bisa menunjukkan relasi fungsional antara suatu unsur budaya atau gejala sosial-budaya tertentu dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, peneliti dituntut untuk dapat memberikan penekanan pada struktur sosial. Dengan demikian, deskripsi mengenai struktur sosial ini tidak kalah pentingnya dengan deskripsi atau pernyataan mengenai relasi fungsional itu sendiri. Data kualitatif berupa contoh-contoh kasus yang konkrit memainkan peran yang penting untuk meyakinkan pembaca akan adanya relasi fungsional antara unsur budaya atau gejala sosial-budaya yang dimaksud dengan struktur sosial yang ada (Diktat kuliah Teori Kebudayaan S2 oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra).

Babad olih I Made Supadi

BABAD

http://supadiimade.blogspot.com/

Apa itu Babad
Istilah babad terdapat di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di daerah – daerah lain, seperti Sulawesi Utara, babad disebut lontara, di Sumatra Barat dikenal dengan istilah tambo, di Kalimantan, Sumatra, dan Malaysia dikenal dengan sebutan hikayat, sisilah, sejarah; di Burma dan Thailand dikenal dengan sebutan kronikel (Soedarsono, 1985).
Ada bermacam – macam pengertian babad. Menurut Darusuprapta (1976), babad adalah salah satu jenis karya sastra – sejarah berbahasa Jawa Baru yang penamaannya beraneka ragam, anatar lain berdasarkan nama sendiri, nama geografi, nama peristiwa atau yang lainnya. Sartono Kartodirdjo (1968) menjelaskan babad merupakan penulisan sejarah tradisional atau historiografi tradisional sebagai suatu bentuk dan suatu kultur yang membentangkan riwayat, dimana sifat – sifat dan tingkat kultur mempengaruhi dan bahkan menentukan bentuk itu sehingga historiografi selalu mencerminkan kultur yang menciptakannya. Menurut Soekmono (1973), babad merupakan cerita-sejarah yang biasanya lebih berupa cerita daripada uraian sejarah meskipun yang menjadi pola adalah memang peristiwa sejarah. Teeuw (1984) menjelaskan babad sebagai teks – teks historik atau genealogik yang mengandung unsur – unsur kesastraan. Demikanlah ada bermacam – macam pengertian babad. Akan tetapi, pada prinsipnya babad merupakan teks – teks historis yang dikemas dengan unsur – unsur kesastraan

Hakikat Babad
Babad merupakan titk temu antara sastra dan sejarah. Realistas dalam babad telah berpadu dengan kreativitas. Maka realitas itu telah menunjukkan wajah baru. Dengan demikian, babad bukanlah mutlak dipandang sebagai dokumen sejarah, tetapi juga dipandang sebagai teks yang secara kreatif, dan menurut konvensi kebudayaan Bali, menafsirkan dan membayangkan hal – hal sejarah dan bukan sejarah dalam rangka pandangan dunia masyarakat Bali. Teks babad merupakan kenyataan yang diberi nilai dan makna lewat cerita. Oleh karena itu, babad menjadi semacam model gaya bercerita yang laku dalam kebudayaan Bali pada zaman itu. Dengan demikian, seorang penulis babad lebih menekankan pemberian makna dan eksistensi manusia lewat cerita, peristiwa yang barangkali tidak benar secara faktual tetapi masuk akal secara maknawi. Jadi, dalam membaca babad kita selalu sadar bahwa kita berada dalam tegangan history dan story. Dengan kata lain, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian yang kedua – duanya hakiki untuk kita sebagai manusia. Oleh karena itu, keobjektifan mutlak tidak pernah tercapai karena beberapa hal, yaitu: (1) Fakta – fakta tidak pernah lengkap, selalu fragmentaris; (2) Penulis babad mau tak mau harus berlaku selektif, tidak semua fakta dan data sama penting dan relevennya. Ia harus memilih dan kriteria objektif untuk penyelesaian tidak ada sehingga cendrung menulis apa yang sebaiknya ditulis bukan apa yang seharusnya ditulis; (3) Penulis babad adalah manusia yang latar belakang, kecendrungan, pendiriannya bersifat subjektif, ditentukan oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya sebagai manusia sosio – budaya pada masa dan masyarakat tertentu (Teeuw, 1988).

Sifat Babad
Sejalan dengan pengertian dan hakikat babad seperti di atas, maka babad memiliki sifat – sifat sakral-magis (dikramatkan), religio-magis (mengandung kapercayaan), legendaris (berhubungan dengan alam semesta), mitologis (berhubungan dengan dewa – dewa), hagiografis (mengandung kemukjizatan menyimpang dari hukum alam), simbolis (mengandung lambang – lambang, kata – kata keramat atau bhisama, benda – benda kramat), sugestif (mengandung ramalan, suara gaib, tabir mimpi), istana sentris (berpusat pada kerajaan), pragmentaris (tidak lengkap), raja-kultus (pengagungan leluhur), lokal (bersifat kedaerahan), dan anonim (tanpa nama pengarang).


Peranan dan fungsi Babad pada Masyarakat Bali Masa Kini
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa babad pada hakikatnya merupakan penafsiran terhadap kenyataan, alternatif kenyataan, atau kenyataan diberi makna lewat cerita. Sejalan dengan itu, makna babad bukan terletak pada peristiwa itu tetapi berada di balik peristiwa. Sebagai produk budaya kiranya babad dapat dilihat sebagai sistem simbol. Babad dapat dipandang menggambarkan suatu cara masyarakat Bali memperkuat dan melestarikan dirinya melalui simbolisasi dari nilai – nilai atau konsep – konsepsi sosio-religius yang mendasari struktur sosialnya. Hal ini penting terutama ditinjau dari segi proses interaksi masyarakat Bali sebagai makhluk sosial. Dalam konteks ini interaksi itu dipahami sebagai interaksi simbolik. Babad sebagai simbol digunakan oleh orang Bali dalam berinteraksi satu sama lain atau untuk menyatakan gagasannya sebagai manusia berkebudayaan. Selanjutnya, sebagai warisan budaya, kiranya babad dapat dipandang sebagai konsepsi – konsepsi orang Bali dalam menanggapi kehidupan dan lingkungan-nya demi eksistensinya secara historis. Kecuali itu, babad juga dipandang sebagai suatu abstraksi tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan orang Bali. Dalam konteks inilah hal - hal penting dalam babad, seperti bhisama dan persoalan sesanan bagi klien bersangkutan dapat dipahami dalam konteks yang lebih utuh. Sekalipun babad ditulis untuk mengenal dan mengingat peristiwa – peristiwa historis dengan segala konsekuensinya, maka kita lebih jauh dituntut untuk dapat memahami dan memberikan penafsiran secara jernih dan komprehensif bahwa fungsi dokumentasi babad hendaknya dipahami sesuai dengan kodratinya sebagai ciptaan sastra. Bahwa realita dalam babad memiliki hukumnya sendiri yang tidak harus sama dengan realita dalam fakta. Hal ini karena dalam ciptaan yang dinamakan sastra itu terdapat kepaduan antara mimesis dan creatio. Tidak hanya itu, fakta dan data yang tersedia di dalam babad tidak dapat dipertanggungjawabkan secara penuh. Informasi pada babad hanya dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan. Jika mengangkat informasi dalam babad sebagai bahan penyusunan sejarah, semestinya harus melalui kritik sumber, babad dibaca berdampingan dengan sumber – sumber lainnya.
Namun demikian, masih dapat diakui bahwa babad diciptakan dalam rangka struktur dan pemenuhan fungsi. Sejalan dengan itu, fungsi babad, antara lain: berfungsi melegitimasi (mengesahkan) asal – usul / silsilah leluhur, kejadian / peristiwa, desa, pura atau hal – hal lainnya. Sehubungan dengan fungsi legitimasi inilah faktor – faktor kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling menentukan satu sama lain. Unsur – unsur mitos, legenda, hagiografi, simbolisme, dan sugesti sangat dibutuhkan dalam upaya menambah kakramatan dan kewibawaan tokoh atau peritiwa yang dilegitimasi.
Di samping itu, babad berfungsi sebagai, penghormatan kepada leluhur. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kepercayaan (sradha) orang Bali adalah kepercayaan terhadap leluhur. Banyak kasus ditemukan dala kehidupan masyarakat Bali bahwa karena faktor “tidak mengenal leluhur” (tak kenal maka tak sayang) orang tersebut hidup sengsara, tetapi setelah menemukan dan mengenal leluhurnya kehidupannya berubah menjadi lebih bahagia. Hal ini pula diamanatkan dalam petikan Kekawin Ramayana di atas, bahwa untuk dapat menjadi seorang gunamanta (memiliki kewajiban), seperti Sang Dasaratha, maka kita diwajibkan berbakti kepada leluhur (tar malupeng pitrepuja) di samping bertaqwa kepada Tuhan (bhakti ring dewa).
Lebih jauh, babad berfungsi sebagai penuntun para keturunan (pratisantana) dalam menjalankan kewajiban masing – masing. Dalam tataran ini, babad dapat dipandang sebagai suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku orang Bali. Babad merupakan kristalisasi pandangan hidup dan ajaran – ajaran luhur para leluhur pada masa lampau. Dikatakan demikian karena hampir dalam setiap babad memuat bhisama leluhur tentang sesanan (tetegenan, kewajiban) yang wajib dilaksanakan oleh keturunannya. Babad mengajarkan kepada keturunannya untuk lebih mengenal diri, untuk memahami hakikat dan eksistensi diri sebagai individu dan makhluk sosial. Artinya, babad tidak mengajarkan keturunannya untuk hidup terkotak – kotak, membatasi diri terhadap linkungan, namun sebaliknya, babad mengajarkan interaksi orang Bali sebagai makhluk sosial. Dalam tataran ini babad merupakan kepaduan antara ontologis dan kosmologis. Oleh karena itu, diperlukan usaha pemahaman komprehensif, baik terhadap manusia dan dunia maupun Tuhan dalam satu keseluruhan konseptual yang koheren. Hal ini tentu memaksa pikiran untuk meraih sampai ke inti paling murni yang tersembunyi dalam struktur – struktur pengalaman manusia (leluhur pada masa lalu). Akan menjadi sangat baik apabila keturunan suatu klien mampu melakukan pemahaman seperti itu tentang babad sehingga tumbuh kesadaran yang tereflaksikan dalam bentuk pelaksanaan dharma masing – masing (dharma agam dan dharma nagara) meniru jejak para leluhur. Dalam rangka meniru jejak leluhur itu, kita mesti tetap dalam kesadaran bahwa babad adalah produk masa lampau yang diberi makna pada masa kini. Artinya, sangat diperlukan kepekaan terhadap situasi dan kondisi zaman pada saat pembacaan. Apabila keturunan suatu klien telah mampu menjalankan kewajibannya dengan baik, maka mereka akan menikmati haknya dengan baik. Dalam rangka inilah kerapkali terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan babad. Yang menjadi horison harapan adalah hak dan melupakan kewajiban apa yang diamanatkan oleh leluhur. Oleh karena itu, sering menimbulkan konflik, baik internal maupun eksaternal.
Babad juga berfungsi sebagai sumber inspirasi seni. Cabang seni yang lain, seperti seni pertunjukan, seni rupa, seni patung, bahkan genre sastra lainnya (kidung, geguritan) kerapkali mengambil sumber pada teks – teks babad. Namun hal penting yang perlu diperhatikan dalam memilih dan mengangkat babad sebagai sumber inspirasi atau sumber lakon seni pertunjukan adalah adanya kesinambungan yang mampu menunjukan ciri khas babad lain berupa legitimasi, genealogi, simbolisme, hagiografi, mitologi, dan sugesti.

Senin, 05 Maret 2012

IGM Darmaweda

ORANG BALI LEBIH SERIUS MENGURUS KEMATIAN DARIPADA KEHIDUPAN

MEMANG IRONIS



SANGAT IRONIS Lahir, hidup, mati adalah sebuah siklus yang tidak mungkin dihindari oleh siapa saja, apa saja yang ada di bumi ini, apakah sebuah benda, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan mahluk yang bernama manusia, apakah dia kaya, miskin, pintar, bodoh, culas, jujur, berkuasa, sakti mandraguna, berjasa, pengkhianat, tidak dapat menghindari siklus tersebut, yang dalam agama Hindhu disebut Tri Kona.

Pepatah mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang. Sama-sama meninggalkan sesuatu untuk dikenang. Tidak perduli, apakah itu baik atau buruk. Ketika orang yang mati mempunyai jasa bagi lingkungan, masyarakat, bangsa dan atau negara, maka akan dikenang jasa-jasanya, walaupun telah mati puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu.

Ir. Soekarno, Moh.Hatta sampai saat ini dan seterusnya, selama masih ada bangsa Indonesia, akan selalu dikenang jasanya sebagai seorang Proklamator, Bapak Proklamator untuk sebuah negara yang bernama Negera Republik Indonesia. R.A Kartini dikenang sebagai pahlawan, karena jasanya memperjuangkan hak-hak wanita untuk kesetaraan dengan kaum laki-laki. Panglima Jenderal Soedirman, dikenang sebagai pahlawan dalam mengusir penjajah dari Negera Republik Indonesia. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Lalu bagaimana dengan para pengkhianat bangsa, para koruptor yang tumbuh subur di negara ini? Pastilah mereka juga akan dikenang, dengan sebutan pengkhianat, teroris atau koruptor.

Adalah seorang wanita paruh baya, bernama Anak Agung Made Astini, telah menjadi guru di sebuah SMP yang ada di Desa Pemecutan, semenjak tahun 1981 dengan status guru honorer. SMP tersebut adalah SMP I Pemecutan, yang dimiliki oleh sebuah yayasan yang bernama Sisya Dhika Suraksa, diprakarsai oleh tokoh-tokoh pendidikan yang ada di lingkungan Desa Pemecutan, atas keprihatinan beliau terhadap banyaknya anak-anak SD di desanya, tidak tertampung di SMP Negeri, yang ketika itu tidak banyak SMP swasta seperti sekarang ini.

Atas kebijakan pemerintah, pada tahun 1988, melalui seleksi penerimaan guru-guru SMP, beliau diangkat menjadi guru negeri yang diperbantukan di SMP I Pemecutan, tempat semula menjadi guru honorer. Tiga puluh satu tahun sudah menjadi guru di sana. Banyak suka dan duka telah dirasakannya. Apalagi beberapa tahun belakangan ini, semenjak diberlakukannya NEM dan makin banyaknya tumbuh sekolah swasta sebagai pesaingnya. Anak-anak pintar dan mempunyai biaya, akan memilih sekolah negeri, yang kurang pintar akan memilih sekolah swasta yang lebih bonafide. Jadilah sekolah ini menjadi sekolah penampung siswa yang memiliki IQ rata-rata ke bawah dan atau dari keluarga tidak mampu. 50% dari siswanya adalah anak dari keluarga tidak mampu.

Bisa dibayangkan, betapa sulit kondisi yang harus dihadapi oleh guru-guru yang mengajar di sekolah itu. Lebih banyak duka daripada sukanya. Sudah sangat sering guru-guru di sana disibukan oleh urusan mengenai siswa yang tidak masuk, tidak berani datang ke sekolah karena orang tuanya tidak bisa membayar biaya sekolah, Rp. 125.000 per bulan, karena kondisi keuangan. Sebagai seorang guru di sekolah itu, Anak Agung Made Astini pun merasa iba dan mencoba untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh siswa-siswa itu. Masalah ini selalu disampaikannya ketika dilangsungkan rapat Pengurus Yayasan. Beliau selalu menanyakan, siapa diantara bapak-bapak yang bersedia menjadi Bapak Asuh bagi siswa-siswa itu? Sudah beberapa kali pertanyaan yang sama diajukan, pada kesempatan yang sama. Namun sampai saat ini, tak satupun dari mereka mengacungkan tangan, tanda kesediaan menjadi Bapak Asuh bagi siswa miskin.

Atas dasar kesadaran bahwa memberi pertolongan kepada orang yang tidak mampu juga merupakan yadnya, maka beliau pun (Anak Agung Made Astini) menjadi Ibu Asuh salah seorang siswa miskin di sekolahnya. Beliau lalu berusaha, mengajak teman-teman sesama guru negeri di sekolah itu, untuk menjadi Ibu/Bapak Asuh bagi siswa-siswa miskin lainnya. Ternyata, usahanya ini tidak sia-sia. Lima orang temannya yang berstatus guru negeri, bersedia menjadi Ibu/Bapak Asuh bagi satu orang siswa miskin per angkatan. Jadi setiap tahunnya mereka memiliki tiga orang siswa miskin, sebagai anak asuhnya. Sungguh mengagumkan. Bukankah tindakan seperti ini merupakan implementasi dari Manusa Yadnya, yang diperintahkan oleh agama Hindu?.

Namun sayang, akibat dari keterbatasan mereka secara finansial sebagai Bapak/Ibu Asuh, masih banyak tersisa siswa-siswa miskin di sekolah tersebut. Menunggu Bapak/Ibu Asuh lainnya.

Sebagai seorang guru senior di sekolah itu, beliau pun merasa bertanggung jawab atas kondisi lingkungan sekolah. Setiap hari, setelah menyelesaikan tugas mengajar di kelas, selalu meluangkan waktu untuk melihat-lihat lingkungan sekolah. Dan, beliau sangat terkejut dan heran, suatu ketika melihat tempat parkir sepeda, yang diperuntukan para siswa. Berjerjer enam buah sepeda, yang persis sama, dari segi tipe, warna dan aksesorinya. Kok bisa, pikirnya. Menimbulkan rasa penasaran, ada apa gerangan, apakah siswa ini memiliki group, perkumpulan, bersaudara, atau……?. Rasa penasaran ini mendorong rasa ingin tahu, tentang keberadaan sepeda-sepeda tersebut.

Beberapa orang koleganya ditanyakan, perihal adanya sepeda yang membuat penasaran tersebut. Salah satu dari koleganya menginformasikan bahwa sepeda-sepeda tersebut adalah bantuan dari sebuah yayasan kristen, yang bernama Balawista, yang diberikan kepada beberapa siswa miskin. Ternyata, tidak hanya bantuan sepeda saja, bahkan setiap bulan, datang seseorang dari yayasan tersebut, untuk membayar biaya sekolah siswa-siswa miskin itu, karena telah menjadi Bapak Asuh bagi siswa tersebut. Setiap hari Minggu, mereka juga diajak ke Gereja.

Belum puas hanya menerima informasi seperti itu, Anak Agung Made Astini, mengunjungi rumah orang tua siswa ini, untuk mengetahui lebih jelas duduk permasalahannya. Ketika ditanya, kenapa bisa anak-anak mereka, menggunakan sepeda yang persis sama dengan beberapa orang siswa lainnya? Dan setiap bulan, ada orang yang membayarkan biaya sekolah anaknya?. Jawaban yang didapatkan diluar prediksi dan diluar perkiraannya. “Ibu sampun uning, kawentenang titiange sekadi puniki. Yen ten icen titiang, pianak titiange nenten jagi masekolah, titiang nenten maduwe prabiya sekolah”, begitulah jawaban yang disampaikannya, dengan wajah lusuh, kelihatan jelas keputusan yang diambilnya dengan terpaksa.

Anak Agung Made Astini akhirnya tidak mempunyai tanggapan apa-apa, dan tidak ingin menanggapi jawaban yang diterimanya. Rasa “jengah”, marah, kesal, keki tak karuan di benaknya. Inilah akibat dari “tuna rungunya” umat Hindu Bali, yang sudah mapan secara ekonomi, tidak pernah mau peduli terhadap orang miskin, khususnya umat Hindu Bali. Akibat dari ketidakpeduliannya, tak muncul pikiran, niat, keinginan untuk membantunya. Tetapi kebanyakan dari mereka, lebih bersemangat, ketika membicarakan atau membahas persoalan-persoalan tentang berbagai kegiatan upakara atau sesaji yang patut diberikan kepada seseorang yang sudah mati.

Pada kesempatan lain, bagaimana seseorang dengan penuh kebanggaan, dan agak pamer, menceritakan bahwa dia baru saja selesai melakukan upakara ngaben untuk ayahnya. Ngaben dengan tingkatan upakara “Mawangun” yang paling utama. Megah, meriah. Banyak rentetan upakara dan ritual yang menyertainya, sehingga menghabiskan waktu berhari-hari, empat belas hari. Melibatkan beberapa banjar, berarti ratusan orang. Menghabiskan biaya antara Rp. 150.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,-. Sudah pasti dijaman seperti sekarang ini. Nilai yang sangat fantastis, hanya untuk mengurus sebuah kematian. Tanpa dia sadari, orang tersebut telah merepotkan banyak orang, anggota banjar, sanak familinya. Mereka beberapa kali diajak terlibat dalam upakara-upakara dan ritual yang dilangsungkan. Harus berapa kali mohon ijin tidak masuk kerja/kantor, berapa kali harus bolos akibat tidak dapat ijin lagi dari atasannya, akibat terlalu sering tidak kerja. Bukankah kondisi ini, pada akhirnya, akan mengurangi daya saing orang Bali di dunia kerja?. Dan ini sudah terjadi di beberapa perusahaan, yang dimpimpin oleh orang luar Bali.

Salah seorang yang mendengar cerita itu bertanya, “Haruskah dibuatkan upakara besar seperti itu?”. “Dari leluhur, sampai generasi saya, jika melaksanakan ngaben, selalu mengambil tingkatan upakara besar (utama). Saya termasuk golongan Tri Wangsa. Apalagi ayah saya seorang penglingsir di keluarga besar (orang yang dituakan, karena usia). Sudah sepantasnya dibuatkan upakara seperti itu, walaupun harus menjual aset, tanah warisan.”, dengan penuh semangat, percayara diri, pamer, seolah-olah sangat mengerti makna (tetuwek) upakara yang telah dilangsungkannya.

Anggapannya, jika kematian dibuatkan upakara besar, dirawat dengan apik, teliti, penuh perhitungan, kelak roh akan menitis kembali lebih sempurna, dan keluarga yang ditinggalkan akan dibantu dari dunia sana.

Jika anggapan, atau pendapat seperti itu menjadi opini masyarakat, maka bisa mengarah terjadi proses pemiskinan, dan penyesatan umat Hindu Bali,?. Seolah-olah dunia yang tidak kelihatan (niskala) bisa diatur dari dunia sekala ini. Seakan-akan, segalanya bisa diatur dengan upakara. Kalau begitu, upakara tidak ubahnya seperti remote control, merubah sesuatu, agar sesuai dengan keinginan kita, dari jarak jauh. Masuk di akalkah itu?. Dimana logikanya?. Bahkan anggapan, pendapat seperti ini telah mengingkari adanya Hukum Karma Phala, salah satu dasar kepercayaan agama Hindu yang tertuang dalam Panca Sradha.

Sesuai dengan ajaran agama (Hinduisme), Roh akan mendapat tempat di dunia sana (niskala), tergantung dari perilaku dan perbuatan di masa hidupnya (berlaku Hukum Karma Phala). Bukan tergantung dari besar kecilnya upakara yang dibuatkan. Seperti apa yang diceritakan dalam pewayangan, seorang Dharmawangsa (simbol orang yang menjalankan kebajikan, kejujuran, dharma), datang ke sorga hanya membawa catatan perbuatan-perbuatannya, subha asubha karma (perbuatan baik dan perbuatan buruk), tidak lebih.

Jika demikian, apakah berlebihan jika umat Hindu Bali dikatakan lebih serius mengurus kematian, ditimbang kehidupan?

Bali sering berurusan dengan hari raya, otonan untuk: ilmu pengetahuan, lingkungan, uang, pohon, ternak, benda-benda pusaka atau kesenian. Tapi Bali tak punya hari suci khusus untuk berderma, tak mengenal hari tumpek atau otonan untuk sedekah. Di Bali, kemiskinan dengan kekayaan, rezeki dan derma, tak punya kaitan, tak ada ikatan. Memang ironis. (Oleh : I Gusti Made Darmaweda, 4 Maret 2012)