Jumat, 03 Februari 2012

Etnografi, dari positivisme & posmodernisme

Etnografi : di antara ilmiah dan fiksi imajinasi atau seni dalam perspektif positivisme dan posmodernsme

Ada dua tokoh berpengaruh dalam postmodernisme yaitu Francois Lyotard dan Jacques Derrida. Secara umum pemikiran postmodernisme berkembang di tengah perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang sangat pesat. Postmodrrnisme berkembang di saat kedewasaan ilmiah dipertanyakan tentang kebenaran universalnya yang diyakini selama ini oleh penganut paradigma positivism sebagai kebenaran yang absolut. Pada tataran ini postmodernisme mengungkapkan bukti bahwa ternyata beberapa teori atau hukum-hukum yang semula dianggap sebagai kebenaran absolut hanyalah merupakan tempat bergantung yang menyenangkan bagi para ilmuwan atas gagasan-gagasannya. Misalnya, hukum gerak Newton yang diterima cukup lama sebagai suatu kebenaran ilmiah absolut ternyata hanya dapat diterima manakala kita terlebih dahulu menerima asumsi bahwa alam semesta adalah sebuah mesin mekanis raksasa. Di mana asumsi tersebut telah dibuktikan sebagai asumsi yang tidak benar oleh Einsten dan ahli fisika kuantum. Gemotri Euclides hanya berguna ketika ita memikirkan bahwa realitas terdiri dari garis-garis lurus, padahal yang kemudian diketahui tidaklah demikian karena realita tidaklah berjalan lurus melainkan berbelok-belok arahnya. Sementara penemuan geometri non Euclides menyatakan bahwa sifat-sifat dan fondasi itu diperlukan ketika hanya dalam pengertian menjadi konsekuensi-konsekuensi logis dari aksioma-aksioma dan postulat yang dengannya konstruksi ilmiah dimulai. Padahal aksioma dan postulat bersifat sewenang-wenang dan menjadikan gagasannya mematikan alternative lain, karena anggapan tentang dirinya sebagai kepastian logis satu-satunya. Hal ini juga terjadi ketika ilmuwan menganggap bahwa metode ilmu-ilmu alam dan bahasa verifikatif sebagai metode dan bahasa ilmiah satu-satunya.

Boleh diatakan menurut postmodernisme bahwa Ilmu Pengetahuan sekarang telah kehilangan kepercayaan terhadap penggunaan akal budi, di mana logika dijadikan sebagai kesenangan belaka bukan sebagai sebuah kebutuhan pemikiran. Oleh arena itu postmodernisme mempertanyakan asumsi yang menyatakan bahwa rasio sebagai satu-satunya dasar untuk memperoleh kebenaran memahami realitas. Kita ketahui bahwa selama ini rasio telah dijadikan sebagai dasar untuk menolak atau menentukan hal yang irasional dan inkosistensi logis dianggap suatu yang haram dalam logika sistematik.

Secara umum bentuk dan analisis postmodernisem mencakup arsitektur, seni dan sastra, teori-teori sosisal (Sutrisno dan Putranto.2005:229-241)

Dalam hal ini, postmodernisme menolak kebenaran ilmiah absolut karena kebenaran ilmiah bersifat paradigmatic, konvensional dan paradigma ilmiah itu sendiri dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman, kebenaran itu terfragmentasi.

  1. Francois Lyotard

Beberapa inti pemikiran Lyotard yang mewakili paradigm postmodernisme adalah :

1) Penolakan terhadap narasi agung

2) Dari narasi agung ke narasi-narasi kecil

3) Berakhirnya sejarah dan munculnya globalisme

4) Permainan Bahasa dan Disensus

5) Antifundasionalisme

6) Skeptisisme dan Relativisme

Postmoderniseme menurut Lyotard merupakan suatu pemutusan hubungan total dengan kultur modern dan bukan sekedar koreksi atas berbagai pemikiran dan kultur modern. Gagasan Lyotard pada postmodern lebih difokuskan pada perlunya perubahan yang mendasar atas suatu paradigma. Menurutnya, bila di era modern didominasi paradigm positivism ilmiah (fundasionalisme epistemology) yang menekankan: kesatuan (bahasa, obyek, metode), keseragaman, obyektivitas, universalitas ilmiah, maka postmodern telah kehilangan kepercayaan pada narasi modern.(Lubis.2004:51-82)

Postmodernisme diartikan sebagai ketidapercayaan pada berbagai bentuk metanarasi, ketidakpercayaan pada klaim kebenaran ilmu pengetahuan obyetif-universal yang didasarkan pada keterbatasan dan ketidak mampuan dalam melihat realitas secara utuh apa adanya, serta kenyataan bahwa ilmu pengetahuan selalu melihat realitas dari perspektif dan paradigma tertentu. Karena itu ilmuwan mengobservasi sebagian realitas (local,etnis,gender,ras, kelas) tertentu berdasarkan perspektif atau paradigm pilihannya, konsekuensinya penjelasan ilmiah hanyalah berupa cerita-cerita kecil (mininarasi). Sehingga bila ada keaneka ragaman perspektif / paradigm maka muncul keaneka ragaman aturan permainan atau criteria kebenaran (language game) narasi ilmiah.

  1. Jacques Derrida

Pemikiran Derrida yang terkenal adalah diawali dengan asumsi dasar bahwa tidak ada makna tunggal atau metaphor tunggal dalam teks. Dalam filsafat dan ilmu pengetahuan selama ini ada kecenderungan/ambisi untuk merangkum segala persoalan. Filsafat dan ilmu pengetahuan selalu mau mereduksi segala persoalan ke dalam keinginan untuk menghasilkan metafor tunggal.

Dari asusmsi tersebut Derrida menghasilkan Teori dekonstruksi yang pada intinya adalah menolak tradisi berpikif paradigma tafsir simbolikis yaitu logosentrisme, falosentrisme, dan opisis binner (Santoso.2003:252).

(1) Logosentrisme dicirikan dengan dominannya konsep totalitas dan konsep esensi. Konsep totalitas adalah ide yang menyatakan bahwa realitas adalah satu, konsekuensinya adalah pengetahuanlah yang menindas karena manusia masuk ke dalam sistem. Konsep esensi adalah konsep pengetahuan tentang yang mendasari sesuatu. Konsep ini menimbulkan dogmatisme dan melegitmasi kekuaaan rasio. (Santoso, 2003:251; Al Fayyad.2009:73-78).

Penolakan terhadap logosentrisme merupakan cara pandang dalam tradisi Barat (paradigma tafsir simbolik, modernisme) yang menganggap akal, pikiran, logos sebagai pusat kebenaran. Suatu realitas dipandang representasi dari akal, pikiran, atau logos tersebut. Bahasa merupakan representasi dari konsepnya. Bahasa, kata, atau teks merupakan wakil dari konsepnya. Makna suatu kata sudah ditentukan oleh konsep kata tersebut yang lebih mendahuluinya. Dalam paradigma tafsir simbolik Sausurre, konsep logosentrisme tersebut yang menyebabkan bahwa bahasa sebagai tanda merupakan “penanda” yang harus mewakili makna, konsep, atau “petanda” yang lebih dulu ada. Keberanan makna suatu tanda, bahasa, atau teks harus mengacu atau dikembalikan pada acuannya, refensial, dan konsepnya.

Derrida menolak logosentrisme, sekaligus obyektivistik tersebut. Alasannya, bahasa atau teks tidak dapat dikatakan cermin atau representasi makna, konsep atau realitas. Akan tetapi, bahasa lisan dapat diterima sebagai logosentrisme. Bahasa tulisan, teks, tidak dapat diterima karena bahasa tulisan otomatis telah terbebas dari konteks atau narasumbernya. Akibatnya, tulisan, teks, otomatis menjadi “tanda” sendiri, yang bukan mewakili suatu makna tetapi, menciptakan maknanya sendiri, dalam hubungan dengan “tanda-tanda” lain yang berada bersamanya. Ini berarti tidak ada pusat makna apapun, kecuali praktik pemaknaan yang terjadi pada saat teks tersebut dihadapi penerima atau pembacanya. Oleh karena itu, tanda-tanda tersebut menjadi tanda-tanda yang bebas, kata-kata yang bebas, bahasa yang bebas dimaknai dan otomoatis akan memunculkan makna yang beragam, plural (Lubis, dalam Pitana. 2010:35)

(2) Falosentrisme yaitu cara pandang dalam tradisi berpikir barat yang berpijak pada tatanan maskulin dan klaimnya bahwa yang maskulin itu bersumber pada dirinya sendiri dan merupakan agensi yang utuh. Akibatnya kategori feminim sebagai sesuatu yang disingkirkan secara konstitutif dalam filsafat dan menjadikan perempuan bukan sesuatu yang esensi pada diri sendiri, melainkan apa yang dibuang atau disingkirkan (Barker. 2005:308-309)

(3) Opisis biner yaitu paradigma yang menempatkan bahwa sesuatu itu berpasangan. Menurut Derrida, sesungguhnya terdapat realitas-realitas lain yang mengantarainya atau yang sama sekali tidak dapat ditentukan. Realitas adalah tidak dualitas dikotomis, melainkan prularlitas posisi, beragam posisi, yang tidak dapat ditentukan/dipastikan dan tidak dominasional, sentralistik melainkan meyebar dan sejajar (Lubis. 2004:107-108; Barker. 2005:102-103)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam paradigma postmodernisme yang menjadi fokus observasi adalah sebagian realitas (local,etnis,gender,ras, kelas) tertentu berdasarkan perspektif atau paradigma pilihannya, sehingga mendatangkan konsekuensi penjelasan ilmiah sebagai cerita-cerita kecil (mininarasi). Metode dan struktur tidak penting lagi, yang ada adalah bagaimana mampu memgumgkapkan tentang suatu kebenaran yang apa adanya. Oleh karena itu tidak penting lagi apakah sesuatu itu ilmiah atau tidak, yang ada adalah keaneka ragaman perspektif / paradigma yang memunculkan keaneka ragaman aturan permainan atau criteria kebenaran (language game) narasi ilmiah.

Lebih jelas lagi dalam hal ini Derrida dalam teori dekonstruksinya menyatakan bahwa dekonstrusi bukanlah sebuah teori dalam pengertian yang normal, melainkan teori yang membuka diri untuk ditafsirkan oleh siapapun lantaran dimensinya yang amat luas….bahwa dekonstruksi bersifat anti teori atau bahkan anti metode karena yang menjadi anasir di dalamnya adalah permainan (play) dan parody (Al Fayyad.2005:8).

Dengan demikian teori atau metode menjadi tidak penting lagi dalam melakukan penelitian antropologi yang disusun dalam etnografi tidak lagi obyektif- valid dan ilmiah, melainkan bagaimana kita mampu mengungkapkan tentang sesuatu sebagai suatu kebenaran secara kontekstual atas konsep-konsep yang ada..

Ketika kita mendeskripsikan suatu aktivitas masyarakat tertentu, misal tentang budaya masyarakat jawa, maka perlu dipertanyakan lagi budaya masyarakat Jawa yang mana ? karena pasti berbeda tradisi yang dianut oleh masyarakat Jawa yang ada di berbagai daerah, apakah sama budaya masyarakat yang dianggap Jawa di daerah Solo dengan di Yogya dan daerah lain, apalagi komunitas masyarakat Jawa yang ada di luar pulau Jawa, sudah pasti akan berbeda meski mereka tetap menyebut sebagai orang jawa.

Akibatnya etnografi orang jawa misalnya tidak dapat lagi menjadi representasi dari gambaran secara keseluruhan dari budaya masyarakat Jawa, artinya tidak ada batas lagi antara yang disebut ilmiah dan yang tidak ilmiah atau fiksi imajinatif. Karena yang ada adalah permainan bahasa atau retorik sebagai pencitraan atas representasi realitas empirik maka batas antara ilmu dan karya sastra menjadi kabur. Sehingga format dan sistematika tidak menjadi persoalan utama, di sinilah terjadi krisis representasi, yang ada adalah pencitraan atau bagaimana membangun suatu citra suatu kebudayaan.

Apa yang diungkap dalam etnografi menurut penganut postmodern adalah representasi subyektifitas makna, perasaan dan kebudayaan orang lain yang bersandar pada realitas empiris dengan menghadirkan pengalaman nyata masyarakat budaya tanpa harus terjebak pada format dan sistematika penulisan. Oleh karena itu etnografi yang disajikan bukan lagi menjadi suatu representasi dari suatu realitas, melainkan representasi politik dari suatu kepentingan tertentu melalui permainan bahasa sebagai suatu pencitraan, maka persoalan keilmiahan dikesampingkan atau menjadi tidak penting lagi, yang ada adalah retorik untuk mencitrakan tentang suatu fenomena budaya yang dikehendaki bukan sebagai pengungkap realitas yang ada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar